Monday, March 12, 2007

KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA DI KALIMANTAN SELATAN

KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA DI KALIMANTAN SELATAN
( KAJIAN TEORITIS MELALUI PERSPEKTIF
KOMUNIKASI PEMBANGUNAN)

BAB I

PENDAHULUAN


Sejarah pertambangan batubara di Indonesia di mulai pada tahun 1849 di Pengaran, Kalimantan Timur. Pada tahun 1888 suatu perusahaan swasta, N.V. Oost Borneo Maatschappij, memulai kegiatan penambangan batubara di Pelarang (sekitar 10 km di sebelah tenggara Samarinda).
Indonesia memiliki cadangan batubara yang cukup besar, diperkirakan sebesar 36 milyar ton dan tersebar di Sumatera 63,83% (4,70% di Aceh, 11,40% di Sumatera Tengah, dan 51,73% di Sumatera Selatan), Kalimantan 31,64% (9,99% di Kalimantan Selatan, 14,62% di Kalimantan Timur, 5,83% di Kalimantan Barat, 1,20% di Kalimantan Tengah) dan sisanya di Jawa, Sulawesi dan Papua (Soedjoko dan Abdurrahman, 1993).
Batubara merupakan sumberdaya mineral yang memiliki nilai yang strategis dan potensial untuk memenuhi kebutuhan energi dalam dan luar negeri. Eksport batubara Indonesia terus mengalami peningkatan, pada tahun 1985 sebesar 1,1 juta ton, tahun 1991 sebesar 8,7 juta ton dan tahun 1995 sebesar 22 juta ton (Sukandarrumi, 1995).
Kalimantan Selatan adalah penyumbang batubara nasional kedua terbesar setelah Kalimantan Timur. Pada tahun 2000 dari total produksi batubara nasional yang mencapai 75,8 juta ton, Kalimantan Timur memberikan kontribusi 38,04 juta ton dan Kalimantan Selatan 27,2 juta ton. Begitu pula pada tahun 2001, dari total produksi batubara nasional yang mencapai 92,5 juta ton, sekitar 48,2 juta ton dihasilkan Kalimantan Timur dan 33,4 juta ton dari Kalimantan Selatan.
Potensi sumberdaya alam berupa tambang batubara yang dimiliki daerah Kalimantan Selatan cukup besar dengan kualitas yang baik serta keberadaannya hampir menyebar di seluruh Kabupaten (Banjar, Tanah Laut, Kotabaru, Tanah Bumbu, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Selatan, Tapin dan Tabalong). Sehingga dibeberapa daerah, sektor pertambangan menjadi sektor andalan dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
Sumberdaya mineral merupakan salah satu sumberdaya alam yang berpotensi menjadi salah satu modal pembangunan bagi suatu daerah, khususnya pada era otonomi daerah dimana pemerintah kabupaten atau kota memiliki kewenangan dalam pengelolaan pertambangan. Karena sifatnya yang tidak dapat diperbaharui atau non-renewable resource, artinya sekali bahan galian dikeruk, maka tidak akan dapat pulih atau kembali ke keadaan semula. Eksploitasi sumberdaya mineral yang tidak mengikuti kaidah-kaidah pertambangan yang baik justru tidak memberi manfaat bagi pemerintah maupun masyarakat. Bahkan dampak-dampak lingkungan yang ditimbulkan dapat menjadi beban bagi pemerintah daerah.
Pengelolaan sumberdaya mineral selama ini mengacu pada Undang-Undang No.11 tahun 1967 tentang pokok-pokok pertambangan beserta peraturan pelaksanaannya. Bahkan tambang dibagi menjadi 3 golongan, yaitu bahan galian strategis, bahan galian vital dan bahan galian yang tidak termasuk strategis maupun vital, atau yang dikenal sebagai bahan galian golongan C. Menurut UU tersebut, bahan galian strategis dan vital dikelola oleh pemerintah pusat sementara untuk golongan C kewenangan pengelolaannya diserahkan kepada Gubernur.
Otonomi daerah yang dimulai dengan terbitnya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah (kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004) dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah pusat dan provinsi sebagai daerah otonom, menyerahkan kewenangan pengelolaan bahan tambang terutama ke kabupaten atau kota. Pemerintah mengganti PP Pertambangan dengan PP No. 75 Tahun 2001 yang mengatur syarat-syarat dan prosedur untuk memperoleh kuasa pertambangan yang secara teknis diatur dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1453 K/29/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di bidang pertambangan umum.
Setelah berjalan selama 5 tahun, pengelolaan pertambangan di berbagai daerah termasuk di Kalimantan Selatan menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan. Pemindahan kewenangan pengelolaan pertambangan dari pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten atau kota mendorong kegiatan pertambangan batubara berkembang pesat dan apabila tidak diikuti dengan kemampuan yang memadai dari aparat pemerintah daerah untuk melaksanakan tugasnya dengan baik menyebabkan kegiatan pertambangan di beberapa daerah menjadi tidak terkendali, yang salah satu dampaknya adalah dalam bentuk kerusakan lahan bekas tambang.
Pertambangan batubara tidak hanya diusahakan oleh perusahaan pertambangan batubara yang memiliki izin, tetapi ternyata diusahakan pula oleh perusahaan pertambangan batubara tanpa izin, yang disebut PETI. Kewajiban yang dibebankan kepada pengusaha pertambangan batubara untuk melakukan reklamasi ternyata baru dilaksanakan 52% saja dari seluruh areal bekas galian tambang batubara tersebut. Ditambah lagi dengan ulah penambang PETI yang setelah selesai menambang membiarkan begitu saja areal bekas tambang batubara dalam kondisi terbuka, sehingga berdampak negatif penting terhadap lingkungan (PPLH Unlam, 2006).
Dari sudut pandang lingkungan hidup kegiatan industri pertambangan batubara merupakan industri yang dalam jangka pendek dijadikan sebagai alternatif pendapatan secara ekonomi bagi masyarakat sekitar tambang walaupun disisi lain juga merusak lahan pertanian dan perkebunan masyarakat, membuka kawasan hutan menjadi lahan pertambangan. Dalam jangka panjang kegiatan pertambangan merupakan penyumbang terbesar lahan sangat kritis yang susah untuk dikembalikan lagi sesuai dengan fungsi awalnya (rona awal). Hal ini tentu saja merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup fungsi lahan di Kalimantan Selatan. Sampai tahun 2005 lingkungan hidup Kalimantan Selatan terdapat kritis seluas 3.147.518,40 Ha (BP DAS Barito).
Pencemaran dan keruskan lingkungan akibat industri pertambangan juga cukup dirasakan oleh masyarakat khususnya di sekitar kegiatan belum termasuk debu yang terbang ke arah perkotaan. Meningkatnya penyakit ISPA di perkampungan yang dilalui oleh truk batubara baik dijalan perusahaan maupun jalan umum merupakan indikasi begitu parahnya pencemaran udara akibat debu batubara. Kerusakan tambak masyarakat di daerah pantai akibat pelabuhan khusus batubara dan terganggunya sumberdaya terumbu karang merupakan contoh kecil kerusakan dan pencemaran lingkungan di daerah pesisir. Serta munculnya bencana banjir dibeberapa daerah yang daerahnya merupakan aktifitas pertambangan batubara.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas menurut penulis salah satu faktor penyebabnya adalah proses komunikasi yang belum dapat berjalan dengan baik. Pesan yang disampaikan oleh pemerhati lingkungan belum dapat mengubah sikap dan pendapat penerima pesan untuk tidak melakukan eksploitasi besar-besaran pada pertambangan batubara. Oleh karena itu dalam penulisan di bawah ini, penulis mencoba menganalisis permasalahan tersebut melalui perspektif komunikasi pembangunan.
1. Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
Bagaimana kondisi pertambangan batubara di Kalimantan Selatan.
Bagaimana peran komunikasi pembangunan dalam rangka pengendalian dampak lingkungan batubara di Kalimantan Selatan.

1. Tujuan dan Kegunaan
a. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengkritisi dan mendeskripsikan kegiatan pertambangan Batubara di Kalimantan Selatan dan dampaknya bagi pembangunan ditinjau dari teori-teori komunikasi dalam pembangunan.
b. Kegunaan dari penulisan ini selain untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur Mata Kuliah Komunikasi Perdesaan, juga merupakan salah satu praktek penerapan model komunikasi untuk menganalisis suatu permasalahan secara teoritis.













BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. PENGERTIAN KOMUNIKASI

Komunikasi merupakan kegiatan yang dominan dalam kehidupan kita sehari-hari. Menurut sejumlah penelitian, 75 % dari seluruh waktu kita dipakai untuk berkomunikasi (Tubb dan Moss; 2000).
Pengertian komunikasi itu sendiri, antara ahli komunikasi berbeda latar belakang perspektif dalam mendefinisikan komunikasi. Tetapi setidaknya komunikasi dapat diartikan proses penyampaian dan penerimaan lambang lambang yang mengandung arti, baik yang berwujud informasi informasi, pemikiran pemikiran, pengetahuan ataupun hal hal lain dari komunikator/penyampai pesan kepada komunikan/penerima. Lebih tegas lagi Everett M. Rogers (1955) mengungkapkan bahwa komunikasi adalah proses yang didalamnya terdapat suatu gagasan yang dikirimkan dari sumber kepada penerima dengan tujuan untuk merubah perilakunya.
Komunikasi merupakan suatu proses, maka untuk mudah memahami proses tersebut maka dibawah ini dikemukakan salah satu model komunikasi yang dipergunakan penulis untuk menganalisa kasus dalam penulisan makalah ini






Model ini dikenal dengan model SMCR. Kepanjangan dari Source (sumber), Message (pesan), Channel (saluran), dan Receiver (penerima). Menurut Berlo, sumber adalah pihak yang menciptakan pesan baik seseorang ataupun suatu kelompok. Pesan adalah terjemahan gagasan kedalam suatu kode simbolik, seperti bahasa atau isyarat; saluran adalah medium yang membawa yang membawa pesan; dan penerima adalah orang yang menjadi sasaran komunikasi.
Dalam situasi tatap muka, kelompok kecil dan komunikasi publik (pidato), saluran komunikasinya adalah udara yang menyalurkan gelombang suara. Dalam komunikasi massa, terdapat banyak saluran : Televisi,radio, surat kabar, buku dan majalah .
Menurut model ini, sumber dan penerima pesan dipengaruhi faktor faktor : keterampilan komunikasi, sikap, pengetahuan, sistem sosial, dan budaya. Pesan dikembangkan berdasarkan elemen, struktur, isi, perlakuan, dan kode. Salurannya berhubungan dengan panca indera : melihat,mendengar,menyentuh, membaui, dan merasai (mencicipi) (dalam Dedy Mulyana; 2002).

2. ADOPSI DAN DIFUSI INOVASI

A. ADOPSI
Adopsi adalah keputusan untuk mengunakan secara menyeluruh suatu inovasi. Keputusan dapat berubah arah setelah proses selanjutnya seperti discontinuance yaitu keputusan untuk menolak inovasi setelah mengadopsinya. Penyebabnya adalah karena ketidakpuasan atas adanya ide baru tersebut. Namun penolakan juga dapat berubah menjadi adopsi. Perubahan ini biasanya terjadi pada tahap konfirmasi.
Proses adopsi merupakan proses - proses yang terjadi sejak pertama kali seseorang mendengar hal yang baru sampai orang tersebut mengadopsi (menerima, menerapkan, menggunakan) hal yang baru tersebut.
Adopsi adalah suatu keputusan untuk memanfaatkan sepenuhnya suatu ide baru (inovasi) dimana keputusan ini merupakan jalan terbaik dari tindakan - tindakannya. (Roger dan Shoemaker 1971)
Kategori adopters yang mengadopsi suatu inovasi adalah klasifikasi anggota sistem sosial berdasarkan innovativeness yang didasari juga oleh waktu relatif yang dibutuhkan untuk mengadopsi suatu inovasi. Rogers and shoemeker mengelompokkan masyarakat yang menghadapi pengadopsian inovasi sebagai berikut:
Inovator
Pengadopsi dini (Early Adopter)
Mayoritas dini (Early Majority)
Mayoritas terlambat (Late Majority)
Orang belakangan (Laggard)
Traxler, M. Renkow and L.W. Harrington. (1991) mendefinisikan adopsi sebagai derajat atau tingkat penggunaan suatu teknologi tertentu oleh pemakai atau petani. Lebih jauh dikatakan, bahwa petani sebagai pengadopsi dibagi menjadi :
User (pengguna). Petani secara total menggunakan teknologi yang direkomendasikan pada waktu itu.
Partial User (pengguna Parsial). Petani hanya menggunakan sebagian dari teknologi yang direkomendasikan.
Ex-User (mantan pengguna). Petani yang telah mencoba teknologi yang direkomendasikan, tetapi telah memutuskan tidak mengunakannya lagi.
Non-User (bukan pengguna). Petani yang secara sadar sejak awal memutuskan tidak menggunakn teknologi yang direkomendasikan.
Tahap-tahap proses adopsi, proses dimana seseorang mulai mengenal adanya suatu inovasi sampai mereka menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari dapat melalui beberapa tahap. Menurut penelitian di Amerika Serikat yang dilakukan oleh north central rural sosiology sub committee of farm practice, bahwa tahapan proses adopsi dalam penerimaan perubahan (inovasi) melalui tahap-tahap berikut yaitu :
Awreness yaitu kesadaran adanya suatu inovasi
Interest yaitu adanya ketertarikan terhadap inovasi tersebut
Evaluation yaitu proses mencari informasi atas inovasi yang kemungkinan akan diterima.
Trial yaitu tahap percobaan terhadap inovasi baru tersebut
Adoption yaitu proses mengadopsi atau menerima inovasi baru tersebut.

B. DIFUSI
Difusi adalah bentuk khusus dari komunikasi. Difusi merupakan proses dimana inovasi tersebar kepada anggota suatu sistim sosial. Pengkajian difusi adalah mengenai telaahan pesan-pesan yang berupa ide ataupun gagasan baru, sedangkan peran komunikasi pengkajian meliputi telaahan terhadap semua bentuk pesan.
Rogers 1983, mendefinisikan difusi sebagai proses dimana suatu inivasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu dalam jangka waktu tertentu di antara para angota tertentu suatu sistem sosial (The process by which an innovation is communicated through certain channels overtime among the members of a social system)
Proses difusi adalah Proses penyebaran informasi yang terjadi dalam masyarakat, mulai seseorang menyadari adanya inovasi, berminat pada inovasi, menilai sesuatu inovasi, mencoba suatu inovasi, dan menerapkan inovasi kemudian seseorang tersebut menyebarkan inovasi tersebut kepada anggota masyarakat dalam sistem sosialnya.
Lionberger (1968) Mengemukakan beberapa hal yang mempengaruhi proses difusi yaitu:
Faktor-faktor sosial, seperti kelompok-kelompok lokal, sifat-sifat kekeluargaan, kik sosial, kelompok-kelompok anutan, kelompok-kelompok anutan, kelompok-kelompok formal, dan faktor status.
Faktor-faktor budaya, yang mencakup sistim nilai dan tingkah laku
Faktor-faktor personal, yang mencakup umur, pendidikan, dan ciri psikologis.
Faktor-faktor situasional, seperti tingkat pendapatan, luas usahatani, status dan kedudukan, gengsi sosial, sumber-sumber informasi yang digunakan, tingkat kehidupan, dan praktik-praktik yang bersfat alami.
Peran komunikasi memfokuskan perhatian pada usaha untuk merubah pengetahuan atau sikap dengan kata lain menghasilkan persuasi atau perubahan sikap yang lebih besar pada penerimanya dengan merubah bentuk sumber, pesan, saluran atau penerima dalam proses komunikasi. Peran difusi lebih pada memusatkan perhatian pada terjadinya perubahan tingkah laku yang tampak (behavioral) yaitu sikap penerima atau menolak ide-ide baru daripada sekedar perubahan dalam pengetahuan dan sikap saja.
Menurut Rogers dan Shoemaker dalam Nasution (1988), studi difusi mengkaji pesan-pesan yang berupa ide-ide ataupun gagasan-gagasan baru. Namun karena pesan-pesan yang disampaikan itu berupa hal-hal baru, maka di pihak penerima akan timbul suatu derajat resiko tertentu. Hal ini kemudian menyebabkan perilaku yang berbeda pada penerima pesan, dari suatu penerima pesan berhadapan dengan pesan-pesan biasa yang bukan inovasi.
Proses difusi inovasi dalam bidang pertanian khususnya adalah menyebarnya inovasi kepada petani yang prosesnya bukan hanya selangkah demi selangkah menuju ke arah adopsi suatu inovasi, melainkan lebih jauh mengarah kepada cara inovasi tersebut jadi diadopsi oleh lebih banyak petani (Mosher, 1978 dalam hasibuan 2003)
Unsur-unsur utama difusi ide, yaitu meliputi : Inovasi, yang dikomunikasikan melalui saluran tertentu, dalam jangka waktu tertentu, dan diantara sistem sosial.

C. INOVASI
Inovasi adalah suatu ide, praktek atau obyek yang dipersepsikan secara baru oleh seseorang atau sekelompok orang. Inovasi dapat menimbulkan ketidakpastian dalam derajat tertentu yang dapat dikurangi dengan adanya informasi.
Inovasi adalah suatu ide atau gagasan yang dipandang baru oleh seseorang. Inovasi adalah suatu gagasan, tidakan atau teknologi yang dianggap baru, diperbaharui, atau baru diketahui oleh seseorang sejauh di hubungkan dengan tingkah laku manusia (Roger dan Shoemaker, 1971).
Ada lima tahap yang dikonseptualisasikan dalam proses putusan penerimaan suatu inovasi, yaitu:
Pengetahuan (knowledge)
Persuasi (persuasion)
Keputusan (decision)
Pelaksanaan (Implementation)
Peneguhan (Compirmation)
Ciri-ciri inovasi yang dirasakan oleh para anggota suatu sistem sosial menentukan tingkat adopsi. Lima ciri inovasi menurut Rogers 1971 adalah sebagai berikut :
Keuntungan relative (relative adventage )
Kesesuaian (Compatibility)
Kerumitan (Complexity)
Kemungkinan dicoba (Trialibity)
Kemungkinan dilihat (Observability)
Pada masyarakat yang sedang membangun seperti pada negara-negara dunia ketiga, penyebaran (difusi) inovasi terjadi terus menerus, dari suatu tempat ke tempat yang lain, dari suatu waktu ke kurun waktu berikutnya, dari bidang tertentu ke bidang lainnya. Difusi inovasi sebagai suatu gejala kemasyarakatan berlangsung berbarengan dengan perubahan sosial yang terjadi. Bahkan kedua hal itu merupakan sesuatu yang saling menyebabkan satu sama lain. Artinya, penyebaran inovasi menyebabkan masyarakat menjadi berubah, dan perubahan sosial pun merangsang orang untuk menemukan dan menyebarluaskan hal-hal baru.

3. JARINGAN KOMUNIKASI
Yang dimaksud jaringan komunikasi adalah saluran yang digunakan untuk meneruskan pesan dari satu orang ke orang lain. Jaringan ini dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, kelompok kecil sesuai dengan sumberdaya yang dimilikinya akan mengembangkan pola komunikasi yang menggabungkan beberapa struktur jaringan komunikasi. Jaringan komunikasi ini kemudian merupakan sistim komunikasi umum yang akan digunakan oleh kelompok dalam mengirimkan pesan dari satu orang keorang lainnya. Kedua, jaringan komunikasi ini biasa dipandang sebagai struktur yang diformalkan yang diciptakan oleh organisasi sebagai sarana komunikasi organisasi. Beberapa pengertian jaringan komunikasi menurut beberapa ahli dapat disebutkan sebagai berikut::
1) Pengertian jaringan komunikasi menurut Rogers (1983) adalah suatu jaringan yang terdiri atas: individu-individu yang saling berhubungan, yang dilambangkan oleh arus komunikasi yang terpola.
2) Hanneman dan Mc Ever dalam Djamali (1999) menyatakan bahwa jaringan komunikasi adalah pertukaran informasi yang terjadi secara teratur antara dua orang atau lebih.
3) Knoke dan Kuklinski (1982) melihat jaringan komunikasi sebagai suatu jenis hubungan yang secara khusus merangkai individu-individu, obyek-obyek dan peristiwa-peristiwa.
4) Berger dan Chaffee mengutip pendapat Farace (1977) melihat jaringan komunikasi sebagai suatu pola yang teratur dari kontak antara person yang dapat diidentifikasi sebagai pertukaran informasi yang dialami seseorang di dalam sistem sosialnya (Berger dan Chaffee. 1987:239).
5) Feldman dan Arnold (1993) membedakan jaringan komunikasi menjadi dua jenis, yaitu jaringan komunikasi formal (menyerupai struktur organisasi) dan jaringan komunikasi informal yang disebut juga sebagai grapevine atau benalu komunikasi.
6) Sajogyo (1996) mengistilahkan jaringan komunikasi informal ini sebagai jaringan komunikasi tradisional. Jaringan komunikasi tradisional merupakan saluran komunikasi yang paling penting untuk mobilisasi desa .
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan pengertian jaringan komunikasi secara lebih khusus sesuai dengan penelitian ini, yaitu suatu rangkaian hubungan di antara individu-individu dalam suatu sistem sosial sebagai akibat dari terjadinya pertukaran informasi di antara individu-individu tersebut, sehingga membentuk pola-pola atau model jaringan komunikasi tertentu.
Rogers dan Kincaid (1981) membedakan pola atau model Jaringan komunikasi ke dalam Jaringan Personal Jari-jari (Radial Personal Network) dan Jaringan Personal Saling mengunci (Interlocking Personal Network). Model Jaringan demikian bersifat memusat dan menyebar. Jaringan personal yang memusat (interlocking) mempunyai derajat integrasi yang tinggi. Sementara suatu Jaringan personal yang menyebar (radial) mempunyai derajat integrasi yang rendah, namun mempunyai sifat keterbukaan terhadap lingkungannya. Selanjutnya Rogers dan Kincaid menegaskan, individu yang terlibat dalam Jaringan komunikasi interlocking terdiri dari individu-individu yang homopili, namun kurang terbuka terhadap lingkungannya.
Berbeda dengan Rogers dan Kincaid yang menekankan model jaringan komunikasi pada masyarakat yang lebih luas, DeVito lebih menekankan pada struktur jaringan komunikasi yang terjadi dalam kelompok atau organisasi. Menurut DeVito (1997), ada lima struktur jaringan komunikasi kelompok, yang juga akan relevan di dalam menganalisis model jaringan komunikasi di lingkaran klik. Kelima struktur tersebut adalah:
1) Struktur Lingkaran
2) Struktur Roda
3) Struktur Y
4) Struktur Rantai
5) Sruktur Semua Saluran.
Struktur lingkaran tidak memiliki pemimpin, semua anggota posisinya sama. Struktur roda mempunyai pemimpin yang jelas, yaitu posisinya di pusat. Struktur Y relatif kurang tersentralisasi dibanding Karakteristik Individu dan Perilaku Komunikasi dengan struktur roda, tetapi lebih tersentralisasi dibanding dengan poia lainnya. Struktur rantai sama dengan struktur lingkaran, kecuali orang yang paling ujung hanya dapat berkomunikasi dengan satu orang saja. Struktur semua saluran atau pola bintang hampir sama dengan struktur lingkaran, dalam arti semua anggota adalah sama dan semuanya memiliki kekuatan yang sama untuk mempengaruhi anggota lainnya. Kelima struktur jaringan komunikasi dapat dilihat pada gambar dibawah ini. Setiap diagram menunjukan adanya lima individu, meskipun suatu jaringan komunikasi bisa melibatkan sejumlah orang selain lima,dan tanda panah menunjukan arah pesan itu mengalir.
Lingkaran
Roda
Y
Rantai
Semua Saluran


Struktur Lingkaran. Strukutur lingkaran tidak memiliki pemimpin. Semua anggota posisinya sama. Mereka memiliki wewenang atau kekuatan yang sama untuk mempengaruhi kelompok. Setiap anggota bisa berkomunikasi dengan dua anggota lain di sisinya.
Struktur Roda. Struktur roda memilki pemimpin yang jelas. Yaitu yang posisinya dipusat. Orang ini merupakan satu-satunya yang dapat mengirim dan menerima pesan dari semua anggota. Oleh karena itu, jika seorang anggota ini berkomunikasi dengan anggota lain, maka pesannya harus disampaikan melalui pemimpinnya.
Struktur Y. Struktur Y relative kurang tersentralisasi di banding dengan strukrur roda , tetapi lebih tersentralisasi dibandingkan dengan pola lainnya. Pada struktur Y juga terdapat pemimpin yang jelas . tetapi semua anggota lain berperan sebagai pemimpin kedua. Anggota ini dapat menngirimkan dan menerima pesan dari dua orang lainnya. Ketiga anggota lainnya komunikasinya terbatas hanya dengan satu orang lainnya.
Struktur Rantai. Struktur rantai sama dengan struktur lingkaran kecuali bahwa para anggota yang paling ujung hanya dapat berkomunikasi dengan satu orang saja. Keadaan terpusat juga terdapat disini. Orang yang berada di posisi tengah lebih berperan sebagai pemimpin daripada mereka yang berada di posisi lain.

4. PERAN KOMUNIKASI PEMBANGUNAN
Komunikasi pembangunan merupakan segala upaya dan cara, serta teknik penyampaian gagasan, dan ketrampilan ketrampilan pembangunan yang berasal dari pihak yang memprakarsai pembangunan dan ditujukan kepada masyarakat luas. Kegiatan tersebut bertujuan agar masyarakat yang dituju dapat memahami, menerima, berpartisipasi dalam melaksanakan gagasan gagasan yang disampaikan tadi.
Dalam arti yang luas, komunikasi pembangunan meliputi peran dan fungsi komunikasi (sebagai aktivitas pertukaran pesan secara timbal balik) diantara semua pihak yang terlibat dalam usaha pembangunan, terutama antara masyarakat dengan pemerintah, sejak dari proses perencanaan, kemudian pelaksanaan dan penilaian terhadap pembangunan ( Zulkarnain Nasution; 1996).
Dari konsep tersebut unsur unsur komunikasi tetap menjadi fokus utama yang dikelola untuk merubah sikap dan tingkah laku masyarakat. Intinya adalah menerapkan segala upaya dan cara serta teknik penyampaian gagasan dan ketrampilan pembangunan dari pemrakarsa (dalam hal ini Pemerintah sebagai komunikator) kepada masyarakat (receiver) sebagai penerima informasi yang ditujukan untuk merubah sikap dan tingkah lakunya. Dengan demikian kemampuan komunikator untuk mengemas pesan yang akan disampaikan, penerapan strategi komunikasi yang tepat serta memperhitungkan efek apa yang akan muncul merupakan suatu keharusan apabila menginginkan suatu pesan atau informasi dapat mencapai hasil seuai dengan apa yang diinginkan.
a. Penyusunan Pesan Komunikasi
Pesan merupakan materi yang akan diberikan kepada pihak komunikan (penerima informasi) dengan pengharapan agar apa yang diberikan itu dapat diterima oleh pihak komunikan secara baik. Sumber pesan juga menjadi perhatian karena akan memberikan suatu tanggapan tertentu terhadap materi yang dikemukakan. Sekalipun materinya sama, tetapi kalau sumbernya berbeda akan membawa perbedaan pula dalam menanggapi materi tersebut. Begitupun mengenai isi pesan sebaiknya jangan terlalu jauh dari kerangka acuan atau kerangka kehidupan; norma norma dan sebagainya dari pihak komunikan, maka diperlukan pemikiran secara matang tentang cara membawakan atau cara pendekatan kepada pihak komunikan.
Pesan komunikasi mempunyai tujuan tertentu. Ini menentukan teknik yang akan digunakan, apakah teknik informasi, teknik persuasi atau teknik instruksi. Apabila pesan yang disampaikan sifatnya adalah hanya untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat maka saluran yang dapat dipergunakan adalah media massa seperti TV, Radio, Surat kabar dan lain sebagainya. Apabila pesan yang ingin disampaiakan adalah untuk merubah sikap dan tingkah laku, maka saluran yang dapat dipergunakan adalah saluran komunikasi interpersonal. Atau dapat juga mempergunakan kedua saluran komunikasi tersebut untuk mendukung tujuan dari pesan yang disampaikan. Namun yang paling penting adalah bagaimana komunikan harus mengerti pesan komunikasi. Kondisi kondisi yang harus dipenuhi jika kita menginginkan suatu pesan membangkitkan tanggapan yang kita kehendaki antara lain :
· Pesan harus dirancangkan dan disampaikan sedemikian rupa, sehingga dapat menarik perhatian sasaran yang dimaksud.
· Pesan harus menggunakan tanda tanda yang tertuju kepada pengalaman yang sama antara sumber dan sasaran, sehingga sama sama dapat mengerti.
· Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi fihak sasaran dan menyarankan beberapa cara untuk memperoleh kebutuhannya itu.
· Pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan tadi, yang layak bagi situasi kelompok dimana sasaran berada pada saat ia digerakkan untuk memberikan tanggapan yang dikehendaki. ( Wilbur Schramm dalam Onong; 1979 ) .

b. Pemilihan Saluran Komunikasi
Saluran komunikasi adalah alat melalui mana sumber komunikasi menyampaikan pesan pesan (messages) kepada penerima (receiver), saluran ini dapat diangap sebagai penerus/ penyampai pesan yang berasal dari sumber informasi kepada tujuan informasi.Untuk menentukan saluran yang akan dipergunakan, maka perlu diketahui strategi komunikasi apa yang dipergunakan. Strategi komunikasi harus mampu menunjukkan bagaimana operasionalnya secara praktis harus dilakukan, dalam arti kata bahwa pendekatan (approach) bisa berbeda sewaktu waktu bergantung pada situasi dan kondisi.
Sebelum melakukan komunikasi, perlu dipelajari siapa siapa yang akan menjadi sasaran komunikasi, dan ini tergantung dari tujuan komunikasi, apakah untuk mengetahui saja atau agar komunikan melakukan tindakan tertentu. Faktor faktor yang harus diperhatikan antara lain :
1). Faktor kerangka referensi (frame of reference)
Pesan komunikasi yang akan disampaikan kepada komunikan harus disesuaikan dengan kerangka referensinya. Kerangka referensi terbentuk dalam diri individu atau sekelompok individu sebagai hasil dari paduan pengalaman, pendidikan, gaya hidup, norma hidup, status sosial, ideologi, cita cita dan sebagainya.
Dalam situasi antarpribadi mudah untuk mengenal kerangka referensi komunikan karena ia hanya satu orang. Yang sukar adalah mengenal kerangka referensi komunikan dalam suatu kelompok. Ada kelompok yang individu individunya sudah dikenal, ada juga yang tidak dikenal. Lebih sulit lagi mengenal kerangka referensi komunikan dalam komunikasi massa sebab sifatnya heterogen. Oleh karena itu, pesan yang disampaikan kepada khalayak melalui media massa hanya bersifat informatif dan umum, yang dapat dimengerti semua orang dan menyangkut kepentingan semua orang. Jika pesan yang akan disampaikan kepada khalayak adalah untuk dipersuasikan, maka akan lebih efektif bila khalayak dibagi menjadi kelompok kelompok khusus, lalu diadakan komunikasi kelompok dengan mereka, yang berarti komunikasi dilakukan secara dua arah atau timbal balik.
2). Faktor Situasi dan Kondisi
Yang dimaksud dengan situasi disini adalah situasi komunikasi pada saat komunikan akan menerima pesan yang disampaikan. Situasi yang bisa menghambat jalannya komunikasi dapat diduga sebelumnya, dapat juga datang tiba tiba pada saat komuniksi dilancarkan.
Yang dimaksud dengan kondisi adalah keadaan fisik dan psikis komunikan pada saat ia menerima pesan komunikasi. Yang perlu diperhatikan adalah situasi dan kondisi yang ada dalam diri maupun diluar diri komunikan.
Pada komunikasi massa,saluran yang biasa digunakan adalah media cetak dan media elektronik. Sedangkan pada komunikasi tatap muka, saluran yang digunakan adalah suara dan pandangan, mendengarkan dan memperhatikan satu sama lain.
Media komunikasi banyak jumlahnya, mulai dari yang tradisional sampai yang modern. Untuk mencapai sasaran dapat dipilih salah satu atau gabungan dari beberapa bentuk media, bergantung pada tujuan yang akan dicapai. Mana yang baik dari sekian banyak media komunikasi tidak dapat ditegaskan dengan pasti, sebab masing masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Pemilihan media harus dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi dimana sasaran komunikasi tersebut berada.
3. Hasil Yang Diinginkan
Pada suatu tindak komunikasi selalu ada konsekensi (Devito;1997). Konsekuensi inilah yang biasa disebut dengan efek, pengaruh atau reaksi penerima terhadap pesan yang diterima,sehingga terjadi perubahan pada dirinya. Menurut Gonzales (dalam jahi;1986) dimensi efek komunikasi menyangkut kognitif, psikomotor dan afektif.
Agar komunikasi (pembangunan) lebih berhasil mencapai sasarannya, serta dapat menghindarkan kemungkinan efek yang tidak diinginkan maka perlu diperhitungkan kesenjangan antara komunikator dengan komunikan. Perlu dikembangkan suatu pengertian yang lebih bersifat timbal balik diantara partisipan komunikasi dalam hal pengertian, perhatian, kebutuhan ataupun titik pandang.
Selain itu diperlukan partisipasi semua pihak yang ikut serta dalam suatu proses komunikasi, demi tercapainya suatu fokus bersama dalam memandang permasalahan yang dihadapi. Dengan perkataan lain pendekatan ini bertolak dari dialog antara semua pihak, dan bukan (seperti selama ini) hanya atau lebih banyak ditentukan oleh salah satu pihak (biasanya komunikator) saja.
























BAB III
PEMBAHASAN

1. Adopsi dan Difusi Aktifitas Pertambangan Batubara di Kalimantan Selatan

Indonesia merupakan negara agraris yang kaya dengan potensi sumber daya alamnya, hal inilah yang juga membuat masyarakat Indonesia sebagian besar hidup dari sektor agraris tersebut dan secara otomatis SDA juga menjadi salah satu modal pembangunan di Indonesia.
Pembangunan sendiri menurut Slamet (1986) adalah merupakan serangkaian usaha berencana yang secara umum ditujukan untuk menimbulkan perubahan-perubahan yang bersifat positif, diinginkan dan bermanfaat pada diri manusia dan lingkungan sekitarnya. Sebagai akibat dari pembangunan, manusia yang menjadi sasaran pembangunan tersebut akan tumbuh dan berkembang, baik dalam arti badaniah dan rohaniah, sehingga dapat mengambil manfaat yang lebih baik dari lingkungannya. Dan untuk mewujudkan pembangunan diperlukan modal yang cukup agar proses pembangunan dapat berjalan dengan lancar. Perubahan-perubahan yang dicapai dalam proses pembangunan tersebut tidak terlepas dari peran penting proses komunikasi. Dimana komunikasi merupakan alat untuk mencapai suatu perubahan artinya tidak akan mungkin terjadi suatu proses pembangunan tanpa adanya komunikasi. Berlo (1967), Rogers (1995), Kincaid dan Schramm (1987) sepakat menyatakan bahwa komunikasi merupakan proses penyampaian informasi atau pesan dari sumber ke penerima, dengan tujuan timbulnya respon dari penerima sehingga melahirkan kesamaan makna.
Suatu inovasi yang dilakukan dengan mengembangkan potensi sektor pertambangan membuat negara-negara yang mengadopsi inovasi tersebut menjadi negara yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Hasil-hasil tambang di pasaran dunia memang dihargai dengan harga jual yang tinggi karena permintaan terhadap barang ini tinggi, sehingga tidaklah mengherankan negara-negara yang mempunyai potensi SDA disektor pertambangan berlomba-lomba mengekspor hasil tambangnya sehingga diperoleh keuntungan yang besar untuk membangun negaranya. Hal inilah yang juga memicu terjadinya penjajahan di Indonesia dikarenakan negara-negara penjajah seperti Belanda dan Jepang tidak memiliki SDA yang bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Mereka kebanyakan hanya memiliki potensi Sumber Daya Manusia (SDM) dan teknologi yang digunakan sebagai modal pembangunan negaranya. Keadaan itu berbanding terbalik dengan kondisi Indonesia yang saat itu kaya dengan SDA tetapi tidak diiringi dengan potensi SDM dan teknologi sehingga memudahkan negara-negara asing untuk melakukan penjajahan di Indonesia dengan kurun waktu yang lama. Setelah merdeka, hikmah dari penjajahan tersebut pemerintah Indonesia dapat mengadopsi inovasi-inovasi yang sebelumnya telah diadopsi oleh para penjajah untuk melaksanakan proses pembangunan. Salah satunya adalah dengan membuat kebijakan-kebijakan yang berpihak pada upaya pengembangan sektor pertambangan sebagai sumber devisa negara yang digunakan untuk modal pembangunan dan aktifitas pertambangan tersebut juga dapat mempersempit jumlah pengangguran di Indonesia karena menyerap tenaga kerja dengan jumlah yang cukup besar. Dan batubara merupakan salah satu hasil tambang yang saat ini marak dikembangkan di negara ini.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada latar belakang penulisan makalah ini, sejarah pertambangan batubara di Indonesia dimulai pada tahun 1849 di Pengaran, Kalimantan Timur. Artinya adopsi terhadap inovasi pengembangan tambang batubara di Indonesia pertama kali dilakukan di Pengaran Kalimantan Timur. Kemudian proses difusi berperan dalam penyebaran inovasi ini sehingga aktifitas pertambangan batubara meluas ke beberapa daerah di Indonesia termasuk Kalimantan Selatan. Pada tahap ini dilihat dari konteks komunikasi pembangunan dalam peningkatan ekonomi rakyat, pemerintah Indonesia berhasil membangkitkan suasana psikis di mana kegiatan ekonomi dan produktivitas terjadi. Ditandai dengan antusias masyarakat yang mulai banyak membuka usaha pertambangan batubara, sehingga produksi semakin hari semakin meningkat dan secara otomatis selain menguntungkan secara finansial dari si pelaku aktifitas pertambangan tersebut juga menguntungkan bagi proses pembangunan negara dimana negara mendapatkan devisa yang banyak dari ekspor batubara dan juga berhasil menurunkan tingkat pengangguran.

Gambar 1. Lokasi Tambang Batubara di Kalimantan Selatan

Potensi sumberdaya alam berupa tambang batubara yang dimiliki daerah Kalimantan Selatan cukup besar dengan kualitas yang baik serta keberadaannya hampir menyebar di seluruh Kabupaten (Banjar, Tanah Laut, Kotabaru, Tanah Bumbu, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Selatan, Tapin dan Tabalong), sehingga dibeberapa daerah di Kalimantan Selatan, sektor pertambangan menjadi sektor andalan dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Hal inilah yang membuat Kalimantan Selatan menjadi penyumbang batubara nasional kedua terbesar setelah Kalimantan Timur.

2. Kondisi Pertambangan Batubara di Kalimantan Selatan

2.1. Aktifitas Pertambangan Tanpa Izin (PETI)

Kegiatan pertambangan dapat dilakukan hanya berdasarkan izin atau kuasa pertambangan. Pertambangan batubara termasuk golongan galian B yang sebelumnya diatur oleh pemerintah pusat dengan mengeluarkan ijin dalam bentuk PKP2B. Di era otonomi pemerintah daerah mempunyai kewenangan mengeluarkan izin kuasa penambangan. Kuasa pertambangan yang dikeluarkan ada tiga bentuk yaitu Surat Keputusan Penugasan Pertambangan, Surat Kuasa Izin Pertambangan Rakyat dan Kuasa Pertambangan. Sistem perizinan ini terutama dikaitkan dengan dampak lingkungan akibat pertambangan sebagaimana diatur dalam UUPLH (UU No.23 Tahun 1997).
Di Kalimantan Selatan, pertambangan batubara tidak hanya dilakukan oleh Perusahaan yang mempunyai kuasa penambangan, tetapi juga dilakukan oleh pertambangan batubara tanpa izin atau PETI. Penambangan tanpa izin atau PETI tahap awal dimulai pada periode tahun 1989 dengan aktifitas yang kecil-kecilan dan berlindung dibalik fasilitas KUD dengan pelaku masyarakat dan perusahaan setempat diwilayah PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) PT. Chung Hua OMD di Kabupaten Banjar dan Tapin.
Selanjutnya aktifitas PETI menjadi semakin marak sejak krisis moneter terjadi pada tahun 1997 (terpicu dengan harga jual yang tinggi di pasaran dunia dan tingginya kurs dollar atas rupiah) dilakukan secara besar-besaran dan berlindung pada perusahaan yang memiliki ijin dengan pelaku masyarakat setempat, perusahaan dari luar Kalimantan Selatan dan pemegang KP eksplorasi dan KP eksploitasi. Berlokasi di PKP2B PT. Chung Hoa OMD, PT. Antang Gunung Meratus, PT. Adaro Indonesia, PT. Jorong Barutama Greston, PT. Arutmin Indonesia, di Kabupaten Hulu Sungai Utara(HSU), Hulu Sungai Tengah (HST), Hulu Sungai Selatan (HSS), Tapin, Banjar, Tanah Laut dan Kotabaru yang mengatasnamakan masyarakat setempat.
Tahun 1998 sampai tahun 2001 aktifitas PETI masih cukup besar namun terjadi fluktuasi dari jumlah penambang karena adanya upaya penertiban yang dilakukan oleh tim penertiban baik tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten. PETI sebagian masih memanfaatkan fasilitas KUD dan sebagian lagi memanfaatkan ijin dispensasi. Dengan adanya kebijakan 1 Januari 2000 tentang larangan angkutan batubara lewat jalan umum. Akan tetapi, kemudian bermunculan pelabuhan-pelabuhan batubara di samping Sungai Putting, Pasir Mas, Trisakti dan Jorong. Selanjutnya muncul pelabuhan baru di Sungai Kintap, Sungai Danau, Batulicin, Serongga, Geronggang dan Gunung Batu Besar.
Secara keseluruhan dari tahun 1989 sampai sekarang, kegiatan PETI secara fluktuatif masih berjalan namun secara sembunt-sembunyi. Ditemukan data di lapangan bahwa banyak yang melakukan kegiatan pada malam hari untuk menghindari aparat namun tidak tertutup kemungkinan dilakukan pada siang hari dilokasi-lokasi yang sulit dijangkau oleh aparat penertiban.
Tahun 2003 sampai 2006 dimulai pola-pola kemitraan antara perusahaan pemegang KP resmi dengan para penambang lokal dengan tujuan merangkul para penambang tanpa ijin agar bisa bekerjasama dengan pemegang KP resmi sehingga dapat diarahkan untuk menambang sesuai kaidah-kaidah yang benar menurut pertambangan. Namun demikian aparat penegak hukum masih terus melakukan razia-razia di daerah-daerah potensial terjadi PETI sampai saat ini, sehingga aktifitas PETI mulai menurun semenjak operasi Illegal Mining dilancarkan dalam dua tahun terakhir.
Maraknya PETI di Kalimantan Selatan disebabkan oleh beberapa hal, yaitu (1) masyarakat menganggap bahwa kepemilikan lahan berarti juga kepemilikan atas bahan tambang yang ada didalamnya dan (2) adanya agen pendukung, seperti aparat desa, aparat keamanan, pemilik modal, penyewa alat berat dan kemudahan fasilitas pemasaran dan fasilitas pelabuhan. Maraknya PETI seringkali dinilai merupakan salah satu bentuk dari ketidakmampuan pemerintah, khususnya pemerintah kabupaten atau kota, dalam mengelola sumberdaya mineral secara berkelanjutan. Menurut Gautama dan Wibowo (2005) ada tiga dampak penting dari PETI, yaitu :
· Terjadi penyiaan potensi sumberdaya mineral karena tidak dieksploitasi mengikuti praktek penambangan yang baik (good mining practices). Tatacara penambangan yang diterapkan justru hanya dapat mengeksploitasi sebagian kecil cadangan dari yang seharusnya bisa ditambang. Hal ini bertentangan dengan kaidah konservasi sumberdaya mineral, yang diartikan upaya untuk mengambil manfaat yang optimal dari sumberdaya mineral yang ada.
· Tidak memberi manfaat yang optimal bagi pemerintah maupun masyarakat, baik dalam bentuk penerimaan langsung dari iuran-iuran (royalty), pajak dan penerimaan-penerimaan lain.
· Kerusakan lingkungan sebagai akibat teknik penambangan yang tidak mengikuti kaidah-kaidah pertambangan yang baik, terutama dalam bentuk kerusakan lahan bekas tambang dan pencemaran, yang selanjutnya menjadi beban bagi pemerintah daerah untuk memperbaikinya.

2.2 Maraknya aktifitas PETI dan Keterlibatan Aparat Pemerintahan
Dalam lima tahun terakhir akibat terbukanya pasar batubara yang lebih luas baik pasar domestik maupun pasar luar negeri, aktifitas ekploitasi batubara di Kalimantan Selatan semakin terus meningkat. Bukan saja ekploitasi yang dilakukan oleh para penambang resmi yang memiliki izin PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) maupun izin KP (Kuasa Pertambangan) tetapi juga banyak dilakukan oleh para penambang tidak resmi alias penambang liar atau yang biasa disebut sebagai PETI batubara. Lebih parahnya lagi pertambangan illegal (Peti) di Kalimantan Selatan ditangani berdasarkan “kepentingan aparat” dan bahkan cenderung dilegalkan seperti kasus tambang illegal di Tanah Bumbu yang dilegalkan melalui berbagai yayasan dan koperasinya institusi TNI-POLRI. Munculnya Peti Batubara juga tidak terlepas dari warisan kebijakan pertambangan dari jaman orde baru dimana konsesi-konsesi pertambangan di hampir seluruh wilayah Indonesia telah dikantongi ijinnya oleh corporate-corporate besar (multinasional corporasi) yang mempunyai ijin langsung dengan Pemerintah Pusat dengan konsesi lahan yang sangat luas. Di lain pihak, adanya perpindahan kebijakan dari pusat ke daerah yang diemplementasikan melalui UU Otonomi Daerah telah memberikan akses kepada pengusaha-pengusaha lokal untuk ikut berperan dalam pemanfaatan sumber daya alam Batubara ini. Akan tetapi pemberian konsesi kepada pengusaha lokal ini tentunya tidaklah mudah, selain aturan mainnya yang belum jelas, areal yang mempunyai potensi tambang itu sendiri hampir semuanya telah dikuasai oleh perusahaan besar melalui mekanisme pusat. Kondisi inilah yang salah satu menjadi faktor pendorong timbulnya penambangan-penambangan liar. Mengutip pemberitaan pada Harian Banjarmasin Post, pada tahun 2004 produksi batubara yang dihasilkan dari penambangan liar di Kalimantan Selatan mencapai 10 juta metrik ton pertahunnya. Produksi dari penambangan resmi dalam sehari hanya 9000 metrik ton, sementara batubara yang dihasilkan dari Peti per harinya mencapai 40.000 ton. Dengan jumlah produksi tambang sebesar itu, kegiatan Peti di Kalimantan Selatan mampu memenuhi kebutuhan pasar di Asia Pasifik sebesar 25 %, yang mengakibatkan kerugian sangat besar bagi negara.
Gambar 2. Ilustrasi kegiatan Penambangan Tanpa Izin (PETI)

Akan tetapi melihat kondisi saat ini, muncul pertanyaan mengapa eksistensi penambangan liar ini begitu besar. Dibandingkan dengan perusahaan tambang besar, kehadiran Peti telah memberikan keuntungan tersendiri bagi pemerintah lokal setempat dan masyarakat disekitar lokasi penambangan liar. Selain kontribusi para pengusaha Peti ini langsung masuk ke kas Pemda setempat melalui dana-dana kompensasi, pihak masyarakat setempat juga menarik fee terhadap pengusaha Peti yang masuk dan melewati wilayah mereka. Diluar biaya ilegal lainnya, ada tiga macam kontribusi pengusaha Peti yang langsung masuk ke Pemda setempat agar mereka bisa mendapatkan SKAB (Surat Keterangan Asal Barang). Para pengusaha lokal tersebut mesti mengeluarkan pembayaran iuran produksi, dana reklamasi, dan sumbangan pihak ketiga. Hal ini berbeda dengan para penambang pemegang PKP2B yang membayarkan royaltinya kepada Pemerintah Pusat dan baru kemudian dibagikan kepada pemerintah daerah.

2.3. Jaringan Komunikasi Pelaku PETI

Muncul dan maraknya aktifitas PETI ditinjau dari teori komunikasi, berhubungan erat dengan adanya jaringan komunikasi diantara para pelaku PETI. Sesuai dengan pendapat Rogers (1983) jaringan komunikasi merupakan suatu jaringan yang terdiri atas individu-individu yang saling berhubungan, yang dilambangkan oleh arus komunikasi yang terpola. Pada aktifitas PETI ini jaringan ini ditandai dengan lancarnya arus informasi dalam penyampaian pesan antara satu dengan lainnya.
Maraknya aktifitas PETI di Kalimantan Selatan pada tahun 1989 dan semakin meningkat pada tahun 1997 (awal krisis moneter terjadi), tidak lepas dari terjadinya arus pertukaran informasi antara pelaku PETI dalam suatu kelompok. Mereka umumnya mempunyai ikatan kekerabatan (keluarga) atau teman dekat, sehingga tidak mengherankan jika aktifitas penambangan liar tersebut semakin tahun semakin meningkat karena lancarnya proses komunikasi diantara mereka. Demikian juga pada kondisi 2 tahun terakhir ini dimana terjadi penurunan aktifitas PETI di Kalimantan Selatan, tidak menutup kemungkinan di dalam jaringan komunikasi pelaku PETI tersebut juga terlibat aparat penegak hukum dan aparat pemerintahan. Dugaan ini didasarkan pada lolosnya mereka dari jerat hukuman pemberantasan PETI dan aktifitas PETI yang semakin meningkat, karena tidak cukupnya bukti yang didapat oleh Tim Pemberantasan PETI padahal pada praktek sehari-harinya jelas ada kegiatan PETI tersebut. Disinilah fungsi komunikasi terlihat jelas efeknya dan menandakan adanya jaringan komunikasi yang terbentuk oleh satu komunitas dengan keperluan yang sama.
Dengan kondisi seperti itu, besar kemungkinan model jaringan komunikasi yang terjadi pada pelaku aktifitas PETI berdasarkan 5 (lima) model struktur jaringan komunikasi De Vito ( 1997 ) adalah struktur lingkaran. Dimana struktur lingkaran merupakan struktur jaringan komunikasi yang tidak memiliki pemimpin. Semua anggota posisinya sama. Mereka memiliki wewenang atau kekuatan yang sama untuk mempengaruhi kelompok. Setiap anggota bisa berkomunikasi dengan dua anggota lain di sisinya. Hal ini sesuai dengan kondisi para pelaku PETI yang tidak memiliki organisasi formal karena kegiatan yang mereka lakukan merupakan kegiatan ilegal, Akan tetapi arus pertukaran informasi yang berjalan lancar diantara mereka sehingga memunculkan suatu jaringan komunikasi membuat usaha illegal mereka tersebut berjalan dengan lancar dengan kurun waktu yang cukup lama. Diantara mereka tidak terdapat seorang pemimpin seperti halnya organisasi formal yang proses pertukaran pesannya dikendalikan oleh pemimpin, masing-masing anggota dalam jaringan tersebut berhak memberikan informasi dan mempengaruhi anggota lain. Biasanya hal ini terkait dengan informasi akan adanya penertiban, jalur lain yang dipakai untuk distribusi batubara tersebut, aparat yang bisa membantu mereka dan lain sebagainya. Hingga saat ini belum ada penelitian lebih dalam tentang jaringan komunikasi dalam kelompok pelaku PETI tersebut, sehingga penulisan makalah ini hanya bersifat tinjauan secara teoritis.

3. Dampak Aktifitas Penambangan Batubara di Kalimantan Selatan

Kegiatan eksploitasi besar-besaran yang dilakukan dalam kegiatan pertambangan batubara di Kalimantan Selatan baik dilakukan oleh pemilik ijin resmi maupun Peti menimbulkan berbagai dampak negatif baik terhadap lingkungan hidup, kehidupan sosial, ekonomi, budaya masyarakat adat maupun budaya masyarakat lokal.
Penggunaan beberapa ruas jalan umum untuk angkutan batubara yang berlangsung hingga saat ini telah banyak mengganggu kepentingan masyarakat banyak. Selain mengganggu pengguna jalan, juga mengakibatkan meningkatnya angka kecelakaan lalu lintas, kerusakan jalan dan jembatan serta pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh debu dari proses pengangkutan tersebut. Kondisi ini diperparah lagi dengan ancaman bahaya kesehatan bagi masyarakat, hal ini dibuktikan dengan meningkatnya penderita penyakit Insfeksi Saluran Pernapasan (ISPA) pada masyarakat yang tempat tinggalnya berada di area jalan proses pengangkutan tersebut dilakukan.
Kebijakan yang memperbolehkan angkutan batubara ini melewati jalan umum ini juga telah melanggar ketentuan perundangan Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang mewajibkan perusahaan tambang memiliki sarana dan prasarana sendiri termasuk jalan. Dan menurut hasil penelitian Walhi Kalimantan Selatan, hampir dapat dipastikan sebagian besar batubara yang diangkut lewat jalan umum adalah hasil dari penambangan batubara yang tidak menggunakan standar pengelolaan lingkungan yang baik dan kebanyakan ilegal.
Seperti halnya aktifitas pertambangan lainnya di Indonesia, pertambangan batubara di Kalimantan Selatan juga telah menimbulkan dampak kerusakan lingkungan hidup yang cukup parah. Akan tetapi patut disesalkan, pemerintah dan perusahaan tambang tidak cukup serius untuk melakukan upaya-upaya penanggulangannya. Kondisi ini juga diperparah dengan tidak adanya ketegasan dari penegakan hukum bahkan cenderung kebanyakan kasus sengaja ditutup-tutupi.
Gambar 3. Salah satu dampak kerusakan diareal tambang batubara

Lubang-lubang besar yang tidak mungkin ditutup kembali apalagi dilakukan reklamasi telah mengakibatkan terjadinya kubangan air dengan kandungan asam yang sangat tinggi. Kondisi ini mengakibatkan kesuburan tanah diarea sekitar pertambangan menjadi tercemar dan akhirnya tanaman tidak dapat berkembang dengan baik bahkan berbagai jenis tumbuhan sudah banyak yang mati, bahkan unsur kimia yang terdapat dalam bekas galian tersebut menimbulkan penyakit kulit pada masyarakat. Pencemaran air sungai dan rusaknya sumber-sumber mata air yang banyak dikonsumsi warga sekitar untuk memenuhi kebutuhan hidup juga merupakan salah satu akibat dari aktifitas penambangan ini.
Kegiatan eksploitasi besar-besaran dalam pertambangan batubara juga mengakibatkan terjadinya pergeseran sosial dan budaya masyarakat. Dulunya mereka berprofesi sebagai petani atau nelayan, sekarang menjadi buruh perusahaan akibat adanya perluasan tambang dengan pembukaan areal hutan, lahan dan kebun masyarakat sehingga mempersempit lahan usaha masyarakat. Pergeseran pola hidup yang lebih konsumtif, penggunaan narkoba dan minuman keras oleh para remaja serta adanya praktek prostitusi menjadi pemandangan yang sering dijumpai sebagai akibat adanya perusahaan pertambangan batubara yang telah mengabaikan hak, nilai-nilai dan budaya masyarakat lokal. Selain itu,juga menimbulkan banyak konflik dalam kehidupan masyarakat bahkan memicu terjadinya pelanggaran HAM akibat tingkah aparat keamanan dan militer yang seringkali menjadi pendukung pengamanan operasi pertambangan.
Terjadinya bencana banjir di Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Banjar yang mengakibatkan banyaknya korban yang meninggal dunia serta rusaknya lahan pertanian merupakan salah satu bukti dampak negatif akibat aktifitas pertambangan batubara yang tidak memenuhi kaedah lingkungan. Menurut data dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapeldada) Kalimantan Selatan (2006) bencana Banjir saat ini merupakan bencana alam yang hampir tiap tahun terjadi di Kalimantan Selatan. Pada tahun 2005, wilayah Kalimantan Selatan mengalami banjir cukup parah, meliputi 7 Kabupaten dan Kota, mencakup puluhan Kecamatan dan Desa, memakan korban jiwa serta kerugian mencapai milyaran rupiah. Banjir yang terjadi disebabkan curah hujan yang tinggi dengan intensitas dan waktu yang lama. Hal ini diperparah dengan berkurangnya daya dukung hutan sebagai daerah tangkapan air yang terbesar. Berkurangnya luasan dan kualitas hutan yang dapat menyerap air curah hujan yang besar, mengakibatkan tingginya debet air sehingga menyebabkan meluapnya air sungai yang berakibat banjir. Sumber Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan (2004) mencatat luas lahan kritis di Kalimantan Selatan mencapai 3.147.518,40 Ha, yaitu sekitar 12,5% dari luas wilayah Kalimantan Selatan. Lahan kritis tersebar di seluruh Kabupaten dan Kota. Dari gambaran tersebut terlihat jelas bahwa kegiatan penambangan batubara ini telah merusakan hutan di wilayah hulu yang mestinya berfungsi sebagai kawasan penyangga dan resapan air. Diperparah lagi dengan buruknya tata drainase dan rusaknya kawasan hilir seperti hutan rawa yang mestinya dapat berfungsi sebagai tandon air yang dapat menyerap air di musim hujan dan mengeluarkannya secara perlahan di musim kemarau.
Berdasarkan hasil evaluasi dampak besar dan penting yang telah dilakukan pada sejumlah kasus kegiatan pertambangan batubara terdapat beberapa faktor lingkungan yang signifikan dikategorikan wajib dikelola dan dipantau, yaitu : kualitas udara, fisiografi dan tanah, hidrologi dan kualitas air, tata ruang dan tata guna lahan, flora dan fauna serta habitat dan ekosistemnya dan kondisi sosial masyarakat.

a. Kualitas Udara
Kegiatan pertambangan batubara yang menjadi sumber dampak penting terhadap pencemaran udara (dalam hal ini kadar debu dan kebisingan) adalah kegiatan operasi penambangan dan pengangkutan batubara. Tabel 1 memperlihatkan dampak negatif kegiatan pertambangan terhadap kualitas udara. Nilai ambang batas kadar debu maksimum adalah 230,0 µg/m3 dan kebisingan 55 dbA untuk permukiman.
Tabel 1. Kadar debu dan kebisingan di daerah pertambangan batubara
No.
Lokasi
Kadar debu
µg/m3
Kebisingan
dbA
Keterangan
1.
2.
3.
4.
Lokasi Tambang, Jorong
Jalan Tambang, Rantau
Jalan Raya Propinsi, Km 94
Desa Hatungun, Rantau
2.083,30
3.229,00
5.890,00
212,4
58,3
46,0
52,9
44,3
Tambang aktif
Dikelola
Tidak dikelola
Tidak dikelola
Sumber : Laboratorium PPLH Unlam (2005)
b. Fisiografi dan Tanah
Perubahan kondisi fisiografi terjadi sebagai akibat aktifitas penggalian, pengupasan, penumpukan, pengolahan dan pengangkutan serta tekanan fisik dari aktifitas alat berat yang digunakan dalam kegiatan pertambangan, termasuk juga perubahan tata letak dan stratifikasi batuan, tanah dan mineral lainnya. Lahan yang semula berupa kawasan hutan atau kebun atau tertutup jenis vegetasi lainnya menjadi terbuka dan berubah fungsi ekologisnya.
Kondisi yang terjadi pada pertambangan batubara yang tidak dilakukan dengan benar akan dijumpai fenomena lubang tambang yang ditinggalkan dan dibiarkan masih terbuka. Selain itu, metoda penambangan stripmine dalam kegiatan tambang batubara yang biasanya diiringi dengan penerapan metoda backfilling (dimana kemajuan tambang ke arah depan selalu diimbangi dengan penimbunan lubang bekas tambang di bagian belakang atau yang disebut penimbunan in pit dump) juga tidak tampak. Kondisi di lapangan sering memperlihatkan lemahnya komitmen pelaku tambang untuk melaksanakan kaidah tambang secara baik dan benar.
Tanah-tanah di daerah pertambangan di Kalimantan Selatan umumnya adalah Ultisols dan Oxisols, yaitu tanah-tanah dengan perkembangan yang lanjut. Tanah-tanah ini dalam kondisi hutan relatif masih subur, karena sistem perharaannya tertutup, bahan organik yang jatuh di lantai hutan terdekomposisi memperkaya hara tanah. Kegiatan penambangan batubara akan mengupas tanah, maka perubahan besar di dalam sistem tanah akan terjadi. Secara fisika, struktur tanah rusak dan perlu waktu lama untuk membentuk struktur tanah kembali. Tanah tanpa struktur menyebabkan tanah sangat peka terhadap erosi, apalagi erosivitas hujan di Kalimantan Selatan tergolong tinggi karena curah hujan tinggi (curah hujan tahunan > 2000 mm). Tanpa pengelolaan lingkungan yang baik, erosi tanah akan melebihi batas erosi diperbolehkan. Dampak turunan dari erosi tanah adalah penurunan kualitas air. Secara kimia, terjadi penurunan kesuburan tanah, pembukaan lahan menyebabkan pencucian hara dan basa-basa meninggalkan oksida-oksida besi, aluminimum dan mangan di permukaan tanah. Tabel 2 memperlihatkan dampak penambangan batubara terhadap erosi tanah.
Tabel 2. Erosi Tanah Sebelum dan Sesudah Penambangan

No

Lokasi
Erosi (Ton/Ha/Tahun)
Rona Awal
Penambangan
1.
2.
3.
4.
Jorong
Sungai Pinang
Satui
Asam-Asam
4 - 17
3 – 4
0,2 – 48
15 - 25
45 – 60
170 – 200
50 – 130
90 – 150
Sumber : Laboratorium PPLH Unlam (2005)

c. Hidrologi dan Kualitas Air
Perubahan kondisi hidrologis dan kualitas air di daerah pertambangan batubara terutama terjadi akibat aktifitas penggalian dan dumping. Biasanya parameter pH, Fe, Mn melebihi ambang batas mutu air limbah. Dalam teknik pertambangan, drainase tambang merupakan prasarana penunjang kegiatan tambang berupa paritan yang dibuat dan diperlukan untuk pengaliran air di wilayah tambang agar pit tambang tidak dipenuhi air, jalan tambang tidak becek dan cepat rusak.
Keberadaan drainase dan settling pond (kolam pengendap lumpur) di lokasi tambang seringkali tidak dibuat secara permanen sehingga mengakibatkan pencemaran lingkungan yang sangat serius.

d. Tata Ruang dan Tata Guna Lahan
Perkembangan pertambangan batubara selama beberapa tahun terakhir di Kalimantan Selatan menyebabkan perubahan atas rencana tata ruang dan rencana pemanfaatan lahan. Dampak dari kegiatan penambangan batubara terhadap tata ruang dan tata guna lahan adalah perubahan tata ruang dan munculnya potensi konflik penggunaan lahan. Di Kabupaten Kotabaru berdasarkan data Juni 2005 memperlihatkan bahwa terdapat kegiatan pertambangan oleh 76 perusahaan dan 13 koperasi yang melakukan penambangan di kawasan hutan dan terdapat 17 perusahaan termasuk koperasi yang melakukan kegiatan penambangan di kawasan Hutan Suaka Alam dengan luas areal yang digunakan 21.863,81 Ha. Akibatnya kawasan hutan yang agak kritis seluas 71.415,00 Ha dan yang kritis (gundul) seluas 143.868 Ha (Muhjad, 2006).

e. Flora, Fauna dan Ekosistemnya
Pembangunan sarana dan prasarana, pengupasan tanah pucuk dan operasi penambangan pada kegiatan pertambangan batubara menyebabkan hilangnya vegetasi dan habitat fauna dan perubahan besar terhadap ekosistem. Revegetasi setelah penambangan cenderung bersifat homogen.


4. Kegagalan Pembangunan dan Kredibilitas Pemerintah (Perspektif Komunikasi Pembangunan)


Nasution (1996) menyatakan bahwa Komunikasi Pembangunan diartikan sebagai suatu komitmen untuk meliput secara sistematik, problematika yang dihadapi dalam pembangunan suatu bangsa. Kegiatan itu kemudian diperluas mencakup segala komunikasi yang diterapkan untuk pentransformasian secara cepat suatu negara dari kemiskinan ke suatu dinamika pertumbuhan ekonomi yang memungkinkan lebih besarnya keadilan sosial dan pemenuhan potensial manusiawi.
Dari pernyataan tersebut, dikaitkan dengan kasus yang telah diuraikan diatas dari kegiatan Pertambangan Batubara terlihat bahwa ada kelemahan pemerintah dalam mengkomunikasikan program pembangunannya sehingga menimbulkan permasalahan yang kompleks bagi masyarakat.
Maraknya aktifitas illegal mining saat ini tidak lepas dari ketidakmampuan pemerintah dan aparat keamanan dalam melakukan penertiban dan menata persoalan pertambangan di sektor ini. Tim penertiban yang beberapa kali dibentuk juga belum mampu menyelesaikan persoalan dan bahkan menimbulkan berbagai persoalan baru dengan adanya isu KKN di tubuh tim. Ketidakmampuan dalam menangani persoalan illegal mining ini menunjukkan lemahnya kredibilitas penegakan hukum dan komitmen pemerintah dalam melakukan pemberantasan illegal mining di Kalimantan Selatan. Faktor lainnya yang menimbulkan maraknya illegal mining saat ini adalah : masih tersedianya bahan baku yang mudah diakses; tersedianya pasar; terbukanya jalur perdagangan; tersedianya teknologi; dan birokrasi perizinan; serta adanya keterlibatan aparat pemerintah dan penegak hukum.
Paradigma pertumbuhan ekonomi yang dianut oleh pemerintah Indonesia memandang segala kekayaan alam yang terkandung di bumi Indonesia sebagai modal untuk menambah pendapatan negara. Tetapi program pembangunan ini tidak diikuti dengan upaya-upaya lainnya seperti pengawasan ketat terhadap usaha pertambangan agar stabilitas lingkungan tetap terjaga, sehingga menimbulkan permasalahan yang kompleks dikehidupan masyarakat. Disinilah terjadi kegagalan komunikasi dalam pembangunan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku usaha, aparat keamanan dan masyarakat.
Seandainya pemerintah dapat bertindak tegas terhadap pelaku pertambangan liar atau kepada pengusaha yang melanggar aturan main dalam usaha pertambangan sesuai dengan hukum yang berlaku melalui hubungan komunikasi yang baik, maka dampak-dampak negatif yang telah dibahas sebelumnya setidaknya dapat diminimalisir. Sehingga tujuan awal pembangunan dari sektor pertambangan dapat berindikasi positif bagi kehidupan masyarakat.
Kondisi memprihatinkan bagi lingkungan dan masyarakat akibat ketidakberhasilan pemerintah dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang melimpah untuk pembangunan dengan mengeksploitasi besar-besaran pertambangan batubara ini juga dapat dikatakan bukti dari kegagalan pembangunan di Indonesia. Sumberdaya alam sebagai kekayaan suatu negara dapat dijadikan modal pembangunan tetapi pada kenyataannya eksploitasi sumberdaya alam tersebut tidak memberikan manfaat berarti. Pendapatan besar yang diperoleh negara dari eksploitasi sumberdaya mineral tidak seimbang dengan kerusakan yang didapat dari kegiatan tersebut. Hal ini diperkuat dengan teori pembangunan yang dijabarkan oleh Dissayanake (1981) yaitu pembangunan merupakan proses sosial yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup dari seluruh atau mayoritas masyarakat, tanpa merusak lingkungan alam dan kultural tempat mereka berada dan berusaha, melibatkan sebanyak mungkin anggota masyarakat dalam usaha ini, dan menjadikan mereka penentu dari tujuan mereka sendiri.

5. Solusi

Permasalahan pengelolaan sumber daya alam tambang batubara di Kalimantan Selatan dinilai sudah sangat kompleks dan terlihat sulit diperbaiki. Untuk itu upaya utama mengatasi permasalahan tersebut adalah diperlukannya political will pemerintah untuk melakukan tindakan yang tegas dan berani dengan melakukan moratorium atau penghentian sementara (penertiban dan tata ulang) aktifitas pertambangan, bukan saja batubara tetapi sumber daya tambang lainnya. Dengan melakukan moratorium seluruh aktifitas pertambangan batubara di Kalimantan Selatan, pemerintah daerah setempat dapat menata kembali pijakan dasar kebijakan dan orientasi pertambangan batubara ke depan yang berpihak pada kepentingan lingkungan hidup, penduduk lokal, bangsa dan kepentingan generasi yang akan datang.
Tentunya untuk mempercepat terjadinya proses tersebut, diperlukan upaya-upaya dan penerapan konsep komunikasi pembangunan sehingga tercipta kesamaan tujuan pembangunan dan menciptakan partisipasi serta dukungan dari seluruh warga masyarakat.









DAFTAR PUSTAKA


Berlo.D.K, 1960, The Process of Comunication, New York, Chicago.

DeVito, Joseph. 1997. Komunikasi Antar Manusia, Kuliah Dasar. Jakarta: Professional Books

Depari E & Collinm.A, 1978, Peranan Komunikasi Massa Dalam Pembangunan,Gajah Mada University press.

Effendy Onong U, 1981, Dimensi dimensi Komunikasi, Alumni Bandung

…………………., 1979, Komunikasi dan Modernisasi, Alumni Bandung

Furqon, Berry. 2006. Potrek Buruk Pengelolaan Tambang Batubara Di Kalimantan Selatan. Walhi KalSel.

Hanafi Abdullah, 1984, Memahami Komunikasi Antar Manusia, Usaha nasional
Surabaya

Lion Berger, Herbert F, Paul H. gwin, 1982, Comunication Strategis : A Guide For Agriculture Change Agent, Lionis: the Interstate.

Muhjad, H. 2006. Naskah Akademik RTRWK. Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat.

Mulyana, Dedi. 2001. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosda Karya

Nasution Z,2001, Komunikasi Pembangunan, pengenalan teori dan Penerapannya, PT. .Raja Grafinedo utama Jakarta.

PPLH Unlam, 2006. Studi Penilaian Kondisi Lingkungan Tambang Batubara di Kabupaten Kotabaru.

Priatmadi, Bambang J. 2006. Pengaruh Industri Batubara Terhadap Lingkungan Hidup Di Kalimantan Selatan : Perspektif Lembaga Penelitian. Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat.

3 comments:

Anonymous said...

salam kenal trus mohon ijin materi pian attch di wadah ulun :http://diamoncity.blogspot.com/

Anonymous said...

[url=http://tonoviergates.net/][img]http://tonoviergates.net/img-add/euro2.jpg[/img][/url]
[b]3d software for sale, [url=http://sopriventontes.net/]server store software[/url]
[url=http://sopriventontes.net/]is oem software[/url] buy payroll software kaspersky vs norton
education software store [url=http://tonoviergates.net/]sales website software[/url] buy computer software online
[url=http://tonoviergates.net/]kaspersky download plus cd[/url] acdsee promocode
[url=http://sopriventontes.net/]Adobe Acrobat 9[/url] filemaker pro 6 tutorial
software discount program [url=http://sopriventontes.net/]financial software canada[/url][/b]

IBU TUTI TKI SINGAPUR said...

SAYA SEKELUARGA INGIN MENGUCAPKAN BANYAK TERIMAH KASIH KEPADA AKI NAWE BERKAT BANTUANNNYA SEMUA HUTANG HUTANG SAYA SUDAH PADA LUNAS SEMUA BAHKAN SEKARAN SAYA SUDAH BISA BUKA TOKO SENDIRI,ITU SEMUA ATAS BANTUAN AKI YG TELAH MEMBERIKAN ANKA JITUNYA KEPADA SAYA DAN ALHAMDULILLAH ITU BENER2 TERBUKTI TEMBUS..BAGI ANDA YG INGIN SEPERTI SAYA DAN YANG SANGAT MEMERLUKAN ANGKA RITUAL 2D 3D 4D YANG DIJAMIN 100% TEMBUS SILAHKAN HUBUNGI AKI NAWE DI 085-218-379-259