Tuesday, March 27, 2007

Holiday


Tebar Pesona di Teluk Jakarta

Monday, March 26, 2007

PENINGKATAN PERAN WANITA UNTUK MENGEFEKTIFKAN PENGEMBANGAN PROGRAM PEMBANGUNAN PRASARANA PENDUKUNG DESA TERTINGGAL DI KABUPATEN BANJAR PROVINSI KALIMA

BAB I


PENDAHULUAN


a. Latar Belakang

Dalam kerangka pembangunan kesejahteraan sosial, kemiskinan merupakan akar dari masalah kesejahteraan sosial lainnya, walaupun terdapat banyak masalah kesejahteraan lain yang berkaitan erat dengan masalah kemiskinan. Dalam kaitannya dengan upaya menghapus kemiskinan, pemerintah telah melaksanakan berbagai kegiatan pengentasan kemiskinan, melalui program bantuan sosial dan penyediaan fasilitas yang ditujukan untuk meningkatkan kelembagaan, partisipasi dan swadaya masyarakat perdesaan.
Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal atau yang lebih dikenal dengan istilah P3DT merupakan salah satu upaya nyata pemerintah untuk membantu dan membina masyarakat desa dalam membangun sarana dan prasarana kegiatan ekonomi dan sosial yang pada hakekatnya mendukung pada upaya pengentasan kemiskinan. Program ini menekankan pada upaya pemberdayaan masyarakat dengan mengutamakan partisipasi dari masyarakat pada setiap proses kegiatan melalui penyediaan sarana dan prasarana fisik.
Namun demikian, evaluasi program menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan program-program P3DT cenderung belum optimal. Menurut hasil penelitian, meskipun kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam program P3DT ini melibatkan partisipasi masyarakat namun masih banyak masyarakat yang belum memperoleh manfaat dari penyelenggaraan program ini, khususnya kaum perempuan. Hal ini dikarenakan dalam pengambilan keputusan, pihak penyelenggara tidak memperhatikan aspirasi dari kaum perempuan, rata-rata hanya memperhatikan aspirasi dari kepala keluarga ( laki-laki ) dan aparatur pemerintah desa sehingga pelaksanaan program tersebut belum optimal untuk kemanfaatan bagi orang banyak, yaitu masyarakat secara keseluruhan. Ketertinggalan perempuan sebagai populasi terbesar dari penduduk dalam berbagai aspek pembangunan sangatlah jelas akan membawa dampak yang tidak menguntungkan bagi keseluruhan pembangunan, jika tidak diperbaiki.
b. Permasalahan
Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah diutarakan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut “ Bagaimana peranan perempuan dalam mengoptimalkan Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal di Kalimantan Selatan.”

c. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk memberikan pemikiran tentang peranan perempuan dalam mendukung dan mengoptimalkan pelaksanaan Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal di Propinsi Kalimantan Selatan.



BAB II


PROGRAM PEMBANGUNAN PRASARANA DESA TERTINGGAL
DI KALIMANTAN SELATAN


Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal atau yang lebih dikenal dengan istilah P3DT merupakan suatu upaya nyata pemerintah untuk membantu dan membina masyarakat desa dalam membangun sarana dan prasarana kegiatan ekonomi dan sosial yang pada hakekatnya mendukung pada upaya pengentasan kemiskinan. Hal ini juga dimaksudkan untuk memberikan rangsangan yang bertujuan :
Peningkatan produksi dan produktifitas di perdesaan yang mendorong peningkatan income serta kesejahteraan masyarakat di perdesaan.
Peningkatan kemampuan masyarakat desa dalam mendayagunakan seluruh potensi yang dimiliki dan lingkungan alam yang ada untuk kesejahteraan hidupnya.
Peningkatan peran manajemen dan administrasi kelembagaan di tingkat kecamatan dan desa.
Pembangunan prasarana dalam P3DT-III didasarkan pada tiga aspek pokok, yaitu kebijaksanaan pembangunan wilayah kabupaten, potensi wilayah kecamatan dan aspirasi kebutuhan masyarakat dalam hamparan kegiatan usaha yang potensial.
Di dalam pelaksanaan P3DT-III ada beberapa hal yang mendasar yang merupakan pijakan pelaksanaannya, seperti :
· Integrasi antara kebijaksanaan pembangunan wilayah kabupaten, potensi wilayah kecamatan, dan aspirasi kebutuhan masyarakat.
· Penciptaan pertautan kepentingan berbagai program
· Percepatan pertumbuhan ekonomi di wilayah kecamatan
· Keluwesan pelaksanaan pembangunan prasarana yang terkait dengan prioritas kebutuhan desa dengan upaya pengembangan wilayah kecamatan yang didasarkan atas RENSTRA (rencana strategi) kecamatan.
Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT) merupakan bagian dari program pemerintah (INPRES No.5 tahun 1993 Program IDT), yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan. Program ini menekankan pada upaya pemberdayaan masyarakat dengan mengutamakan partisipasi dari masyarakat pada setiap proses kegiatan melalui penyediaan sarana dan prasarana fisik. Dalam pelaksanaannya P3DT Phase I dan II menggunakan pola KSO (kerjasama operasional), sedangkan untuk phase III ini menganut pola kombinasi sebagai penyempurnaan dari pola sebelumnya. Penyempurnaan tersebut meliputi : filosofi dasar, kebijaksanaan dan tujuan, mekanisme pelaksanaan, cakupan wilayah kerja, serta perluasan jenis prasarana yang kesemuanya terangkum dalam mekanisme proses pelaksanaan yaitu :
1. Persiapan/perencanaan : UDKP 1 sampai dengan UDKP 4
2. Pelaksanaan : Tn-1 ……..Tn+1
3. Pemanfaatan dan pemeliharaan
Program P3DT – III pola kombinasi di dalam pelaksanaan persiapannya adalah membuat laporan potensi kecamatan yang merupakan lanjutan dari kegiatan penyusunan profil kecamatan yang mendapat masukan dari resume kegiatan dengan maksud untuk memberikan gambaran mengenai kapasitas dan potensi kecamatan untuk berkembang.
Seperti diketahui P3DT memiliki dua tahap dalam pencapaian tujuannya, yaitu , jangka panjang dan jangka pendek. Untuk jangka panjang tujuan yang akan dicapai adalah adanya keseimbangan pembangunan daerah yang berkelanjutan dan pembangunan ekonomi yang menunjang program penanggulangan kemiskinan, melalui pendekatan yang ditempuh dengan proses pemberdayaan masyarakat perdesaan dan program penyediaan prasarana dan sarana pisik pendukung pembangunan ekonomi daerah serta penguatan peran aparat dalam pembangunan wilayahnya. Selanjutnya untuk tujuan jangka pendeknya adalah dapat diasumsikan sebagai manfaat langsung yang dapat dirasakan oleh masyarakat baik secara perorangan maupun kelembagaan, misalnya :
Ø Menunjang dan mengkatalisasikan pembangunan perdesaan melalui system prioritas pembangunan prasarana strategis ekonomi perdesaan;
Ø Meningkatkan produksi dan produktivitas kegiatan social ekonomi masyarakat;
Ø Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat;
Ø Memperkuat kemampuan dan kemandirian masyarakat perdesaan;
Ø Meningkatkan kemampuan kelembagaan di tingkat kecamatan dan desa;
Ø Memperkuat kemampuan aparat dalam memfasilitasi pembangunan untuk masyarakat.
Adapun hasil yang diharapkan dari P3DT ini adalah sebagai berikut :
a) Tersusunnya Rencana Strategi (RENSTRA) Kecamatan dan Program Investasi Kecamatan (PIK) selama 3 )tiga) tahun untuk pembangunan prasarana dan sarana phisik.
b) Tersedianya prasarana dan sarana fisik yang meliputi 3 (tiga) kategori, yaitu :
· Kategori I
Prasarana yang mendukung aksesibilitas sebagai upaya pengembangan wilayah, antara lain jalan desa, jembatan, tambatan perahu.
· Kategori II
Prasarana yang mendukung kebutuhan kegiatan ekonomi produktif masyarakat, antara lain jaringan desa (irigasi sederhana), jaringan saluran tersier, kebun pembibitan dan semplot.
· Kategori III
Prasarana yang mendukung utilitas umum, antara lain MCK (mandi cuci kakus), penyediaan air bersih dan sanitasi.
c) Terjadinya proses pembelajaran serta meningkatnya peranserta dan pengalaman baik masyarakat maupun aparat dalam pembangunan khususnya pembangunan prasaranan dan sarana phisik.
Adapun pendekatan yang digunakan P3DT yakni pendekatan pada pemberdayaan masyarakat sesuai azas dari, oleh dan untuk masyarakat, melalui :
v Keberpihakan, dimana orientasi kegiatan baik dalam proses maupun pemanfaatan hasil diutamakan kepada penduduk miskin;
v Otonomi dan desentralisasi, dimana masyarakat memperoleh kepercayaan dan kesempatan yang luas dalam kegiatan baik pada proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan maupun pemanfaatan hasilnya
v Partisipatif, dimana masyarakat terlibat secara aktif dalam seluruh kegiatan dan proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pemanfaatan;
v Keswadayaan, dimana kemampuan masyarakat menjadi faktor pendorong utama dalam keberhasilan kegiatan, baik proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan mauun pemanfataan hasil kegiatan
v Keterpaduan pembangunan, dimana kegiatan yang dilaksanakan memiliki sinergi dengan pembangunan yang lain.
Untuk prinsip pelaksanaannya sebenarnya serupa saja dengan pelaksanaan pada phase I dan II hanya saja pada phase III penekanannya pada integrasi pembangunan wilayah kecamatan dan desa beserta aspirasi kebutuhan masyarakat. Secara rinci, prinsip pelaksanaan yang dimaksud di atas adalah sebagai berikut :
Pengambilan keputusan atas dasar partisipasi masyarakat
Keluwesan dalam pelaksanaan dengan prioritas kebutuhan pada tingkat kecamatan dan desa
Transparansi dalam proses pengambilan keputusan
Tanggungjawab dan wewenang pemerintah kabupaten terkait dengan kebijaksanaan otonomi daerah
Pengintegrasian antara strategi pembangunan kabupaten dengan aspirasi kebutuhan masyarakat
Upaya pengembangan khusus, berkaitan dengan peningkatan peran dan keterlibatan wanita
Sistem monitoring, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dampak, untuk perbaikan pelaksanaan dalam rangka keseimbangan pembangunan antara daerah
Upaya mencapai peran serta masyarakat secara optimal dan kelayakan proyek yang cukup baik, maka kegiatan persiapan dan perencanaannya dilaksanakan setahun sebelum pelaksanaannya.

BAB III
ANALISIS PERMASALAHAN PELAKSANAAN PROGRAM PEMBANGUNAN PRASARANA DESA TERTINGGAL
DI KALIMANTAN SELATAN


Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT) merupakan strategi dalam mengimplementasikan kebijakan pemerintah untuk mengatasi kemiskinan. Program ini menekankan pada upaya pemberdayaan masyarakat dengan mengutamakan partisipasi dari masyarakat pada setiap proses kegiatan melalui penyediaan sarana dan prasarana fisik.
Kalimantan Selatan merupakan salah satu wilayah yang menjadi daerah atau lokasi pelaksanaan Program P3DT di Indonesia. Salah satunya adalah wilayah Kecamatan Simpang Empat di Kabupaten Banjar.
Pada tahap awal pelaksanaan Program P3DT masalah yang muncul adalah dominasi aparatur pemerintah desa (lurah, kepala desa) dalam mempengaruhi aspirasi-aspirasi masyarakat, sehingga pada saat jajak pendapat dilakukan masyarakat kurang proaktif dalam menyampaikan aspirasinya pada change agent yang ditugaskan untuk mendampingi pelaksanaan program tersebut.
Akibatnya, pembangunan sarana dan prasarana dapat dikatakan hasil aspirasi dari kepentingan aparatur desa atau beberapa kelompok tertentu. Atau tidak mewakili kepentingan orang banyak, sehingga tidak jarang menimbulkan konflik dalam masyarakat dan manfaat yang diberikan kurang optimal.
Selain itu, berdasarkan pengamatan di lapangan pembangunan sarana dan prasarana yang telah dilaksanakan tidak menyentuh kepentingan kaum perempuan. Karena fakta yang terjadi akibat kurang efektifnya komunikasi yang dilakukan oleh change agent dan masyarakat sebelum penyusunan program akibat pada saat mengumpulkan aspirasi kebutuhan masyarakat dilakukan secara kolektif pada satu tempat ( tidak dilakukan dengan metode kunjungan door to door ), sehingga aspirasi didominasi oleh pihak aparat desa. Padahal aktifitas kegiatan sehari-hari di desa didominasi oleh kaum perempuan (mengurus kebutuhan keluarga dan aktifitas bertani) sedangkan kaum pria lebih memilih bekerja diluar desa sebagai buruh bangunan atau tambang untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.
Pada evaluasi yang dilakukan di wilayah penerima program P3DT ditemukan banyak sarana dan prasarana yang tidak dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat, bahkan sebenarnya ada kebutuhan yang lebih penting diperlukan masyarakat tetapi tidak dimasukkan dalam pelaksanaan program P3DT. Antara lain pengolahan pipa saluran air dari daerah dataran tinggi ke dataran rendah agar masyarakat tidak perlu berjalan dalam hitungan ratusan meter untuk mendapatkan air bersih. Atau perbaikan jalan kearah kebun karet atau daerah lahan pertanian untuk memudahkan aktifitas bertani masyarakat. Kedua contoh tersebut dalam salah satu wilayah penerima P3DT di Kalimantan Selatan tidak direalisasi karena tidak ada yang membawa aspirasi tersebut dan change agent yang kurang memperhatikan permasalahan dan sumber yang relevan.
Kedua kondisi yang seharusnya direspon melalui program P3DT tersebut menjadi tidak terperhatikan, penyebabnya adalah karena yang melakukan aktifitas itu adalah kaum perempuan. Mengambil air dalam hitungan ratusan meter, pergi bertani dan menyadap karet mayoritas aktifitas yang dilakukan kaum perempuan di wilayah penerima program P3DT sementara kaum pria lebih memilih bekerja di luar desa dan hanya sesekali mengikuti aktifitas kaum perempuan. Sedangkan pada perumusan kebutuhan sebelum penyusunan program, kaum perempuan tidak dilibatkan dan ironisnya yang mendominasi pembicaraan pun adalah aparat desa sehingga rancangan program pun menjadi kurang optimal pemanfaatannya.
Fakta dilapangan pembangunan jalan dan jembatan yang tadinya dimaksudkan untuk membantu akses masyarakat dalam memperlancar pemasaran usahatani, ternyata hanya bermanfaat bagi kepentingan kelompok tertentu termasuk aparat desa karena jalan yang dibangun berada pada mobilitas kelompok tertentu tersebut sedangkan masyarakat lain tidak merasakan manfaat yang lebih. Demikian pula dengan pembangunan WC umum, berdasarkan hasil evaluasi pembangunan WC dibeberapa tempat dalam satu wilayah P3DT tidak termanfaatkan dengan baik, karena masyarakat lebih memilih melakukan aktifitas ditempat tinggal mereka masing-masing meskipun WC mereka kurang memenuhi standar kelayakan. Sehingga pembangunan WC menjadi sia-sia dan tidak termanfaatkan dengan baik.

BAB IV
STRATEGI MENGOPTIMALKAN PROGRAM PEMBANGUNAN PRASARANA PENDUKUNG DESA TERTINGGAL MELALUI
PENDEKATAN INTERPERSONAL KAUM PEREMPUAN


Strategi merupakan keseluruhan keputusan kondisional tentang tindakan yang akan dijalankan guna mencapai tujuan. Anwar Arifin (1994) mengatakan bahwa dalam merumuskan strategi komunikasi, selain diperlukan perumusan tujuan yang jelas juga terutama memperhitungkan kondisi dan situasi khalayak. Hal ini dimaksudkan selain agar kekuatan penangkal yang dimiliki khalayak dapat “dijinakkan”, juga untuk mengalahkan kekuatan pengaruh dari pesan-pesan lain yang berasal dari sumber (komunikator) lain.
Gagal atau kurang optimalnya program-program yang dilaksanakan pemerintah berkaitan erat dengan cerobohnya seorang change agent dalam melakukan observasi awal sebelum melakukan perencanaan strategi. Seringkali para change agent lebih memperhatikan waktu dalam melakukan observasi, sehingga dalam penggalian informasi atau observasi cara ringkas sering dilakukan yaitu dengan meminta bantuan aparat desa untuk mengumpulkan masyarakat dan menjaring aspirasi dalam menyusun perencanaan program P3DT. Dari segi waktu memang efektif karena change agent hanya menunggu disatu tempat dan jam yang telah disepakati sehingga tidak memakan waktu lama akan tetapi dari segi efektifitas kebutuhan masyarakat tidak terangkum secara jelas karena dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan pihak tertentu yang cukup berpengaruh sehingga program-program yang disusun seringkali tidak tepat sasaran atau kurang optimal.
Selain itu kelemahan dari observasi kolektif seperti itu, seringkali hanya melibatkan para kepala keluarga yang notabene adalah kaum pria. Hingga dapat dikatakan hasil dari pertemuan tersebut tidak mewakili aspirasi kebutuhan kaum perempuan. Padahal pemanfaatan waktu yang lebih banyak melakukan aktifitas di desa adalah kaum perempuan, jadi dapat dikatakan kaum perempuan lebih banyak mengetahui masalah-masalah atau kebutuhan apa yang sangat diperlukan dalam mendukung perbaikan didesanya.
Untuk itu seharusnya seorang change agent pada saat melakukan observasi untuk merancang suatu program hendaknya memperhatikan proporsi khalayak sasarannya. Artinya untuk merumuskan suatu strategi, change agent harus melibatkan semua komponen masyarakat agar keputusan yang diambil sesuai dengan kebutuhan utama masyarakat.
Dan untuk mencapai itu, seorang change agent akan lebih baik memfungsikan peran perempuan dalam menggali informasi selengkapnya untuk mengambil suatu kebijakan. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi hal tersebut, antara lain yaitu (1) waktu perempuan dalam melakukan aktifitas didesa tersebut lebih banyak dibandingkan kaum pria sehingga perempuan lebih mengetahui permasalahan-permasalahan yang ada di wilayah mereka, (2) kaum perempuan umumnya lebih terbuka dalam memberikan suatu informasi dibandingkan kaum pria, (3) kaum perempuan yang sudah berkeluarga lebih mengetahui kebutuhan-kebutuhan apa yang diperlukan dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh suami dan anak-anaknya.
Dari ketiga alasan tersebut, dapat dilihat peran perempuan dapat dijadikan sumber informasi dengan tingkat keakuratan yang tinggi dalam menggali informasi untuk pembangunan sarana dan prasarana yang diperlukan dalam program P3DT. Akan tetapi perlu diingat untuk mendapatkan informasi tersebut, seorang change agent lebih baik menggunakan metode kunjungan langsung sehingga informasi yang didapat lebih natural tanpa ada intervensi dari pihak manapun dan komunikasi berjalan secara efektif. Untuk mempersingkat waktu, tidak perlu semua masyarakat didatangi tapi dilakukan secara acak atau mewakili.
Melalui pendekatan tersebut, diharapkan perencanaan strategi program P3DT dapat tepat sasaran dan manfaat yang diberikan dirasakan oleh semua pihak tanpa merugikan pihak manapun, termasuk kepentingan kaum perempuan. Dan melalui pendekatan saat pra penyusunan program, change agent juga dapat mempengaruhi sasarannya (kaum perempuan) untuk berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan program P3DT. Sehingga pada saat program dilaksanakan, change agent tidak memerlukan waktu lama untuk memberdayakan kaum perempuan untuk mengoptimalkan kegiatan program P3DT tersebut.



DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2005. Pendekatan Pembangunan Dalam Rangka Peningkatan Peran Perempuan.

Arifin Anwar. 1994. Strategi Komunikasi, Sebuah Pengantar Ringkas. Penerbit CV Armico. Bandung.
DeVito, J.A. 1997. Komunikasi Antar Manusia. Edisi Kelima. Hunter College of the City University of New York. Alih Bahasa: Ir. Agus Mauiana MSM, Proofreader Dr. Lyndon Saputra. Jakarta : Professional Books.

Mardikanto, Totok. 1988. Komunikasi Pembangunan. Sebelas Maret University Press.

Mildred L.E. Wagemann, Antara Kemarin dan Hari Esok: Wanita Indoensia dan Perubahan Zaman Pandangan resmi : Wanita dalam pembangunan

Pusat Penelitian Lembaga Kependudukan Unlam. 2004. Baseline Data Studi Dampak P3DT Phase III. Lemlit Universitas Lambung Mangkurat. Banjarmasin.

Robbins, Stephen P. 1999. Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi. Erlangga, Jakarta

Rogers, Everett.M. 1985. Komunikasi dan Pembangunan, Perspektif Kritis. LP3ES. Jakarta.

Tim Koordinasi P3DT Pusat. 2000. Kebijakan P3DT-III. Jakarta

_______________________. 2000. Panduan P3DT-III. Jakarta

_______________________. 2000. Petunjuk Pelaksanaan Perencanan. Jakarta

ANALSIS PSIKOLOGI KOMUNIKASI DARI NOVEL TUHAN, IZINKAN AKU MENJADI PELACUR

SINOPSIS CERITA
TUHAN, IZINKAN AKU MENJADI PELACUR
Sebuah Memoar Luka Seorang Muslimah Karya Muhidin M Dahlan

Nidah Kirani adalah seorang gadis muslimah yang taat beribadah. Badannya dihijabi oleh jubah dan jilbab yang besar. Hampir semua kegiatan sehari-harinya diisi dengan aktivitas pendekatan pada Tuhan dan menjalankan perintahNya sebagaimana cara yang diajarkan Rasullullah, setiap waktu dia habiskan untuk shalat, baca Al-Qur’an dan berzikir. Ketertarikan untuk mengetahui lebih dalam tentang keislaman melalui diskusi tentang Islam mendorongnya untuk membentuk suatu forum kajian yang membahas masalah-masalah keislaman, dan keinginannya ini didukung oleh Dewan Mahasiswa Kampus Barek yang memberikan kepercayaan pada Kiran untuk menjalankan forum ini.
Dari forum inilah dia didekati seorang ikhwan (sebutan untuk laki-laki muslim aktivis islam) bernama Dahiri. Keaktifan dan kekayaan referensi Dahiri dalam membahas tiap topik yang diangkat dalam forum diskusi ini menyita perhatian Kiran. Sehingga waktu diskusi mereka bukan hanya berada pada saat forum berjalan tetapi juga diluar forum karena Dahiri juga merupakan teman sekelas Kiran di Kampus Barek. Ternyata Dahiri merupakan aktivis jamaah yang merupakan gerakan yang subversif, organisasi garis keras yang mencita-citakan tegaknya syariat Islam di Indonesia yang diidealkan bisa mengantarkan pengikutnya ber-Islam secara kaffah. Dan dia memang mengincar Kiran yang dia ketahui sedang semangat-semangatnya untuk memperdalam keimanannya dan mencari kedamaian dalam aktifitas keislaman yang baru dibangunnya, seperti seorang muallaf yang baru menikmati dan merasakan kenyamanan Islam. Selalu ingin berada pada komunitas yang bisa membawanya mengetahui lebih banyak tentang islam. Berbekal dengan kemampuannya dalam berargumen dan penguasaan terhadap ayat-ayat Qur’an serta Hadits, Dahiri berhasil mempengaruhi pikiran Kiran. Sehingga Kiran yang tadinya meyakini pengetahuannya tentang Islam sudah cukup baik berubah menjadi pemikiran betapa masih dangkalnya dia dalam mempelajari Islam. Sosok Dahiri berhasil membuatnya menjadi gelisah dan akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan organisasi islam garis keras itu.
Setelah melakukan proses baiat (pengucapan sumpah untuk bergabung pada organisasi jamiah), Kiran benar-benar menjalani kehidupan sebagai sufi, yang demi kezuhudannya dia melakukan shaum (puasa) setiap hari, tidak lagi mengkonsumsi nasi dan daging tetapi hanya mengkonsumsi roti ala kadarnya. Tiap waktunya dimanfaatkan untuk menegakkan syariat Islam dan dakwah pun dia jalankan dengan keyakinan untuk menyelamatkan sesama muslim berislam secara benar. Tiap waktu dia mencoba mempengaruhi orang-orang yang ada disekitarnya untuk berhijrah dari paham agama lamanya. Tetapi tidak jarang aktifitasnya ini juga mendapat penolakan dan membuat dirinya dikucilkan oleh orang-orang di pondokkannya tempat dia selama ini tinggal. Karena merasa gerakannya tidak disukai, akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan pondokan itu dan memilih tinggal di Pos Jemaah yang terletak di sekitar kampusnya. Tadinya Kiran membayangkan dengan tinggal di Pos ini, ritual keagamaannya menjadi lebih dalam tetapi pemikiran itu bertolak belakang dengan kondisi sebenarnya. Satu-satunya ibadah yang dilihatnya adalah cuma shalat berjamaah, selebihnya ibadah yang dilakukan para aktivis di Pos itu terlihat biasa. Bahkan ritual ibadah di Pondokan Ki Ageng, tempat dia tinggal sebelumnya lebih khusyuk dibandingkan di Pos ini. Tetapi Kiran tidak ambil pusing, dia tetap dengan keyakinannya bahwa dia harus meneggakkan hukum Islam dengan mengabdikan dirinya di jalan Allah. Dakwah terus dilancarkannya dan dia berhasil merekrut orang banyak termasuk orangtua, keluarga dan masyarakat desanya. Bukan hanya merekrut orang, setiap minggunya dia juga harus memberikan infak sebesar 500 ribu rupiah yang katanya digunakan untuk biaya perjuangan menegakkan Syariat Islam. Tidak jarang untuk itu, Kiran harus berbohong pada orangtua dan kakaknya yang berada di luar negeri dengan dalih membayar keperluan kuliahnya.
Tetapi ditengah jalan, Kiran diterpa badai kekecewaan. Pergerakan yang selama ini dia tempuh dan sudah banyak resiko yang dia terima, dari dikucilkan oleh para santri di pondokannya dulu, biaya yang dia keluarkan untuk infak yang tidak sedikit sampai diusirnya dia dari desa tempat tinggalnya tetapi dia nilai tidak dianggap oleh aktifis lainnya. Akal sehatnya mulai mencerna, organisasi yang dia ikuti ternyata tidak mempunyai kegiatan yang jelas, uang infak itu juga tidak jelas kemana digunakan hingga membuat Kiran berontak dan berusaha keluar dari organisasi meskipun taruhannya adalah nyawa. Karena organisasi ini berjalan secara rahasia dan terus diburu oleh pemerintah, sehingga aktifis yang ada disini bila berkhianat diancam akan dibunuh.
Begitu besarnya kekecewaan Kiran, hingga merampas nalar kritis sekaligus keimanannya. Dia selalu mempertanyakan untuk apa yang Tuhan balas untuk segala pengorbanan yang telah dia lakukan demi penghambaannya kepada Tuhannya. Dan akhirnya dia menalar bahwa Tuhan yang selama ini dia agung-agungkan seperti lari dari tanggung jawab dan tidak menghiraukan keluhannya.
Dalam keadaan frustasi dan kekosongan, dia menemui Daarul Rachim seorang Ketua Forum Studi Mahasiswa Kiri Untuk Demokrasi. Melalui Daarul dia mengeluarkan semua beban dan rasa sakit hatinya. Berawal dari situ, hubungan mereka makin akrab dan Kiran memandang sosok Daarul sebagai pahlawannya yang tiap saat bisa melindunginya dari rasa takut akan dibunuh. Tetapi kedekatan itu akhirnya memulai suatu babak baru, Kiran seorang muslimah yang taat harus menggadaikan keimanannya dengan melepaskan keperawanannya karena tidak kuat menahan rasa cinta yang mulai tumbuh pada laki-laki yang melindunginya ini dan sebagai wujud pemberontakannya pada Tuhannya. Kesalahpahaman membuat hubungan mereka merenggang dan akhirnya putus, hal ini membuat Kiran makin frustasi dan kembali menyalahkan Tuhannya. Dalam frustasinya itu, akhirnya dia terjerembab dalam dunia hitam.
Kekecewaannya dilampiaskan dengan melanggar aturan-aturan agamanya, freesex dengan pria-pria aktivis sayap kiri dan kanan (islam) yang selama ini dikenal sebagai aktivis kampus yang lantang meneriakkan tegaknya moralitas dan syariah islam. Membongkar topeng kemunafikkan tiap aktivis tersebut membuatnya puas sebagai bentuk pemberontakannya pada Tuhan. Tidak ada rasa sesal yang setiap kali usai melakukan petualangan cinta. Bahkan salah satu korbannya adalah seorang Dosen Kampus Matahari Terbit Yogyakarta yang juga merupakan anggota DPRD dari fraksi yang selama ini bersikukuh memperjuangkan tegaknya syariat islam di Indonesia. Dan Dosen ini jugalah yang akhirnya menjadikan dirinya memiliki profesi yang selama ini dihujat orang banyak, menjadi seorang pelacur.
ANALISIS CERITA

Dalam novel yang berjudul “Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur”, merupakan cerita yang menggambarkan luka seorang muslimah yang tadinya taat beribadah, tetapi karena salah langkah memilih jalan yang dia anggap akan membawa dirinya makin dekat dengan Tuhannya dan memiliki harapan yang sangat besar sehingga banyak pengorbanan yang dia lakukan, ketika harapan besar itu bertolak belakang dengan kondisi sebenarnya menjadikan Nidah Kirani, tokoh utama cerita ini menjadi frustasi dan akhirnya terjerembab dalam dunia hitam dengan melanggar aturan-aturan agamanya dari freesex sampai mengkonsumsi obat terlarang. Hal ini dilakukannya sebagai bentuk kekecewaan dan bentuk pemberontakan kepada Tuhannya, yang dia anggap tidak pernah perduli dengan dirinya sedangkan dia telah banyak melakukan pembuktian sebagai wujud pengabdiannya pada Tuhan.
Pada alur cerita ini, ada 1 tokoh utama lain yang mempengaruhi jalan pemikiran Kiran yaitu sosok Dahiri, seorang mahasiswa yang juga aktivis organisasi islam garis keras. Dahiri inilah yang berhasil mengajak Kiran untuk menjadi aktivis jamiah dan menjanjikan Kiran akan menemukan ketenteraman dan kedamaian berjihad dijalan Allah.

1. HUBUNGAN INTERPERSONAL TOKOH UTAMA

Menurut De Vito ada 5 tahap hubungan antar pribadi kalau kita akan melakukan hubungan dengan orang lain, yaitu tahap kontak, keterlibatan, keakraban, pengrusakan dan pemutusan. Keterlibatan Kiran dalam organisasi islam garis keras yang mencita-citakan tegaknya syariat islam di Indonesia berawal dari pendekatan komunikasi persuasif yang dilakukan oleh Dahiri pada Kiran. Lebih jelasnya secara teoritis dapat dijelaskan melalui Kontak Bagan tahap tahap hubungan interpersonal menurut DeVito :
Berdasarkan apa yang dialami oleh Kiran, kontak pertama dengan Dahiri berawal dari forum diskusi islam yang akhirnya melakukan pembentukan Hubungan Interpersonal. Tahap ini sering disebut juga sebagai tahap perkenalan (Acquaintance Process). Steve Duck (1976;127) dalam Rahmat (2001) menyatakan perkenalan adalah proses komunikasi dimana individu mengirimkan (secara sadar) atau menyampaikan (kadang kadang tidak sengaja) informasi tentang struktur isi kepribadiannya kepada bakal sahabatnya, dengan menggunakan cara-cara yang agak berbeda, pada bermacam-macam perkembangan persahabatan. Dahiri merupakan anggota yang aktif mengikuti forum diskusi yang dikelola Kiran, sehingga dari sinilah Kiran lebih mengenal sosok seorang Dahiri yang tadinya hanya dikenalnya sebagai teman sekelas dan menimbulkan penilaian yang positif yaitu Dahiri merupakan pria yang cerdas, pintar berargumen dan memiliki wawasan yang luas tentang islam.
Dengan data diri Dahiri tersebut, Kiran berusaha membentuk kesan tentang diri Dahiri. Kesan pertama amat menentukan, karena itu hal-hal yang pertama kelihatan merupakan hal yang menentukan kesan pertama menjadi sangat penting. Brooks dan Emmerts (1976,24) mengatakan para psikolog sosial menemukan bahwa penampilan fisik, apa yang diucapkan pertama, apa yang dilakukan pertama menjadi penentu yang penting terhadap pembentukan citra orang lain.
Oleh karena itu Dahiri berhasil menjaga kesan pertamanya, Dahiri dapat menunjukkan pada Kiran yang menjadi target sasarannya bahwa ia serius mengajak Kiran untuk memahami islam secara benar. Untuk membantu memudahkan pengaruh pada Kiran, Dahiri memulainya dengan ikut aktif dalam forum diskusi yang dikelola oleh Kiran, dari sinilah Kiran dapat mengenal kepribadiannya dan Dahiri mengetahui apa yang menjadi kebutuhan Kiran.
Selanjutnya setelah Kiran memperoleh kesan pertama yang positif terhadap Dahiri, maka tahap selanjutnya adalah menuju pada tahap keterlibatan. Pada tahap ini Dahiri mengembangkan sikap-sikap yang memudahkan penerimaan terhadap kehadiran Dahiri. Selain sikap faktor lain yang juga menentukan adalah atraksi interpersonal yang dilakukan oleh Dahiri. Oleh karena itu Dahiri berhasil mengembangkan Atraksi Interpersonalnya, karena Atraksi Interpersonal adalah daya tarik personal yang timbul dalam hubungan Interpersonal. Makin tertarik kita kepada seseorang, maka besar kecendrungan kita berkomunikasi dengan dia. Ada dua faktor yang mempengaruhi Atraksi interpersonal yaitu Faktor personal dan faktor situasional.
Faktor Personal yang telah dikembangkan oleh Dahiri hingga kehadirannya mudah diterima oleh Kiran adalah :
1. Kesamaan Karakteristik Personal (Similarity).
Dalam situasi dimana seseorang harus berinteraksi dengan semua golongan dalam masyarakat yang berbeda maka timbul kecendrungan dalam dirinya untuk memilih orang yang memiliki banyak persamaan dengan dirinya (Depari dan Andrews; 1988). Sikap ini disebut dengan homofilis. Komunikasi yang efektif lebih mudah dicapai apabila baik sumber informasi maupun penerima informasi sama sama homofilis.
Sebagai seseorang yang berusaha masuk untuk mempengaruhi orang, maka Dahiri berusaha mencari kesamaan yang ada pada Kiran dengan yang ada dalam dirinya. Dari kesamaan-kesamaan ini maka keberadaan Dahiri akan lebih mudah diterima oleh Kiran. Orang yang memiliki kesamaan dalam nilai,sikap,keyakinan,tingkat, sosial ekonomi,agama,ideologis,cenderung saling menyukai. Menurut Heider dalam buku Psikologi komunikasi (Jalaludin Rakhmat;2004), “ Kita cenderung menyukai orang, kita ingin mereka memiliki sikap yang sama dengan kita. Kita ingin memiliki sikap yang sama dengan orang yang kita sukai, supaya seluruh unsur konsisten”.
Dahiri telah dapat memanfaatkan kelebihan yang dimilikinya, karena Dahiri mempunyai kelebihan dapat berbicara dengan lugas dan memiliki pengetahuan yang luas tentang islam bahkan dia hapal dengan ayat-ayat Qur’an yang menjadi modalnya untuk berargumen pada tiap diskusi tentang islam. Sebagai muslimah, Kiran mempunyai kesamaan dengan Dahiri yaitu tertarik dengan ilmu-ilmu dan jalan hukum-hukum islam. Mereka memiliki latar belakang budaya yang sama yaitu hidup dengan sendi-sendi islam. Kesamaan karakteristik inilah yang merupakan modal dasar bagi Dahiri untuk masuk kedalam lingkungan kehidupan Kiran yang harus direkrutnya. Faktor lain yang turut mendukung mudahnya Dahiri kedalam lingkungan kehidupan Kiran adalah faktor kesamaan bahasa yang dimiliki Dahiri. Kesamaan bahasa ini akan memudahkan dalam melakukan komunikasi serta memudahkan dalam mencapai pengertian bersama dibandingkan dengan orang-orang yang memakai bahasa yang berbeda.
Pada alur cerita ini, kontak khusus antara kedua tokoh utama berawal diluar forum diskusi. Dialog pada halaman 33 dimana Dahiri berusaha mendekati Kiran yang sedang berada sendirian diperpustakaan. Tatapan tajam Dahiri direspon oleh Kiran dengan menyapanya “Dahir, gimana kabarmu. Ada tugas?” kemudian Dahiri menjawab “Bukan soal tugas Kiran, tapi soal Islam yang kita bahas minggu lalu.”
2. Tekanan Emosional (Stres)
Bila orang berada dalam keadaan cemas atau harus memikul tekanan emosional, maka ia akan menginginkan kehadiran orang lain. Sebagai aktifis yang berusaha merekrut anggota baru Dahiri pandai membaca situasi dan kondisi dilingkungannya. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan mencari orang-orang yang berada dalam kecemasan, kesusahan atau berada dalam tekanan emosional. Dengan bersikap ingin menolong Kiran agar menjadi muslimah secara kaffah akan melihat niat baik dari Dahiri pada Kiran. Kiran memikirkan semua perkataan Dahiri tentang islam dalam konteks yang sebenarnya sehingga akhirnya memunculkan keraguan pada diri Kiran apakah saat ini dia belum menjalankan syariat islam secara benar, keraguan inilah yang secara perlahan membuat keberadaan Dahiri diterima dan lebih dekat dengan Kiran.
3. Harga diri yang rendah
Menurut Webster, bila harga diri direndahkan, hasrat afiliasi (bergabung dengan orang lain) bertambah, ia makin responsif untuk menerima orang lain. Ditambahkan oleh Tubbs dan Moss; 1974, Orang yang rendah diri cenderung mudah untuk mencintai orang lain. Dahiri adalah seorang aktifis organisasi keislaman, jelas ia dipandang lebih tinggi dan lebih baik oleh Kiran. Harga diri Kiran mungkin lebih rendah dari Dahiri. Dengan memandang Dahiri sebagai orang yang lebih baik dari Kiran, Kiran tertarik untuk mencari tahu dan menemukan jalan agar dia bisa lebih baik lagi.
4. Isolasi Diri
Eliot Aronson, seorang ahli yang mengembangkan Gain-loss Theory (teori untung rugi) mengatakan bahwa orang yang kesukaannya kepada kita bertambah akan lebih kita senangi daripada orang-orang yang kesukaannya pada kita tidak berubah. Dengan demikian bagi orang yang terisolasi akan lebih menyenangi kedatangan orang dari luar, apalagi orang tersebut dapat memberikan ganjaran yang menguntungkan mereka.. Nidah Kirani yang baru menemukan kedamaian berada pada jalan islam adalah orang yang secara psikologis mempunyai kekurangan dan keterbatasan pada ilmu keislaman dan ada kecenderungan mengisolasikan dirinya. Dengan keberadaan Dahiri sebagai orang dari luar lingkungannya akan memudahkan Dahiri untuk menjalankan misinya, karena adanya kecendrungan menyenangi kedatangan orang dari luar.
Disamping faktor personal , faktor lain yang juga mempengaruhi atraksi Interpersonal adalah faktor situasional. Faktor situasional tersebut adalah :
1. Daya Tarik Fisik (Phisical Attractiveness).
Beberapa penelitian telah mengungkapkan bahwa daya tarik fisik sering menjadi penyebab utama Atraksi interpersonal. Sebagai orang yang terlibat dengan masyarakat (orang banyak) maka penampilan Dahiri juga terjaga. Kelebihan yang dimiliki oleh Dahiri seperti pintar, tampan dan lain sebagainya dimanfaatkan untuk memudahkan hubungan dengan Kiran yang menjadi target sasarannya. Penampilan fisik pada diri Dahiri dapat dimanfaatkan untuk membuat persepsi orang berubah dari belum bisa menerima menjadi bisa diterima oleh Kiran.
2. Ganjaran
Kita akan cenderung menyenangi orang yang memberikan ganjaran kepada kita. Ganjaran itu berupa bantuan, dorongan moril, pujian atau hal-hal yang dapat meningkatkan harga diri. Selain itu juga merupakan sifat alami manusia yang senang mendapat pujian dan hadiah. Untuk lebih memudahkan Dahiri membina hubungan dengan Kiran maka Dahiri selalu berusaha memberikan ganjaran kepada Kiran. Ganjaran yang dimaksudkan disini berupa bantuan, dorongan moril, pujian dan lain sebagainya yang dapat memberikan keuntungan bagi Kiran. Pada cerita ini terdapat pada saat Kiran diliputi keraguan dan akhirnya meminta penjelasan pada Dahiri. Hal ini sesuai pula dengan teori pertukaran sosial (Social Exchange Theory), bahwa interaksi sosial adalah semacam transaski dagang. Interaksi akan timbul bila memberikan keuntungan bagi salah satu atau kedua belah pihak.
3. Familiarity
Dengan semakin sering dan banyak melakukan pertemuan dan bimbingan kepada Kiran, maka Dahiri akan semakin dikenal oleh Kiran. Semakin akrab Dahiri dengan Kiran makin memudahkan untuk mempengaruhi Kiran agar merubah paham keislamannya. Menurut Zajonc (1968), ia akan menemukan makin sering subjek melihat wajah tertentu, maka ia makin menyukainya.
4. Kedekatan (Proximity)
Jarak fisik merupakan faktor penting pada tahap awal interaksi. Orang cenderung menyenangi mereka yang tempat tinggalnya berdekatan. Persahabatan lebih mudah timbul diantara tetangga yang berdekatan. Tindakan yang telah dilakukan Dahiri adalah melakukan pendekatan dengan mengikuti forum yang dikelola Kiran. Karena faktor kedekatan inilah yang akhirnya sangat mempengaruhi keberhasilan misi yang dijalankan oleh Dahiri.
5. Kemampuan (Competence)
Kita cenderung menyenangi orang-orang yang memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari pada kita. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa orang orang mempunyai kemampuan biasanya lebih berhasil kehidupanya. Dahiri dapat menunjukkan kemampuannya agar ia disenangi oleh Kiran, targetnya. Sebagai orang yang memberikan informasi dan inovasi maka ia harus mempunyai kredibilitas. Faktor faktor mempengaruhi Dahiri dalam menciptakan kredibilitasnya sebagai nara sumber adalah :Trust (kepercayaan dan pengaruh karena karismatik), Expertise (keahlian, keilmuan, tingkat pendidikan), Autority (kekuasaan, kedudukan), Performance( penampilan fisik, Socio economic Status (status sosial ekonomi), Experience (pengalaman), dan style of influence (gaya yang sesuai dengan keinginan user). Hal lain yang dibuktikan oleh Dahiri adalah karena ia telah dipercaya oleh anggota organisasi islam sebagai orang yang berkompeten mempengaruhi orang lain untuk merubah paham keislamannya, ia merupakan orang yang telah dipercaya oleh anggota organisasi.
Setelah Dahiri dapat diterima oleh Kiran, Dahiri telah mengusahakan agar komunikasi yang dilakukan dengan Kiran menjadi efektif. Komunikasi yang efektif ditandai dengan hubungan interpersonal yang semakin baik. Kegagalan komunikasi sekunder terjadi bila isi pesan kita fahami – tetapi hubungan antar komunikan menjadi rusak. “ Komunikasi interpersonal yang efektif meliputi banyak unsur, tetapi hubungan interpersonal barangkali yang paling penting. Setiap kali kita melakukan komunikasi, kita bukan hanya menyampaikan pesan; kita juga menentukan kadar hubungan interpersonal, bukan hanya menentukan content tetapi juga relationship.
Dalam kaitannya dengan membina hubungan interpersonal ini, seorang Psikolog Arnold Goldstein (1975) menghubungkan apa yang disebut sebagai “relationship enchancement” (metode peningkatan hubungan) dalam psikoterapi, ia merumuskan metode ini dengan tiga prinsip : makin baik hubungan interpersonal (1) makin terbuka pasien mengungkapkan perasaannya, (2) makin cenderung ia meneliti peranannya secara mendalam beserta penolongnya (psikolog), dan (3) makin cenderung ia mendengar dengan penuh perhatian dan bertindak atas nasehat yang diberikan penolongnya.
Dari segi psikologi komunikasi, kita dapat menyatakan bahwa makin baik hubungan interpersonal, makin terbuka orang mengungkapkan dirinya, makin cermat persepsinya tentang orang lain dan persepsi dirinya. Sehingga makin efektif komunikasi diantara mereka. Dalam kasus ini, maka semakin efektif komunikasi yang dilakukan oleh Dahiri, maka semakin terbina hubungan yang baik antara Dahiri dengan Kiran. Dengan diterimanya kehadiran Dahiri tersebut, maka Dahiri dapat berperan sekaligus sebagai “teman” atau “sahabat” bagi Kiran.

Hubungan Interpersonal Dalam Model Permainan
Model ini berasal dari psikiater Eric Berne ( dalam Jalaludin Rakhmat, 2001), dimana dalam model ini orang-orang berhubungan dalam bermacam-macam permainan. Mendasari permainan ini adalah tiga bagian kepribadian manusia – Orang tua, Orang dewasa dan anak. Orang tua adalah aspek kepribadian yang merupakan asumsi dan perilaku yang kita terima dari orang tua kita atau orang yang kita anggap orang tua kita. Orang Dewasa adalah bagian kepribadian yang mengolah informasi secara rasional, sesuai dengan situasi, dan biasanya berkenaan dengan maslah-masalah penting yang memerlukan pengambilan keputusan secara sadar. Anak adalah unsur kepribadian yang diambil dari perasaan dan pengalaman kanak-kanak dan mengandung potensi intuisi, spontanitas, kreatifitas dan kesenangan.
Pada alur cerita novel ini, menampilkan salah satu aspek tersebut. Yaitu pada saat Kiran mulai membutuhkan kajian tentang pemahamannya terhadap islam yang sesungguhnya, kemudian dia berusaha mencari informasi yang dapat membantunya menjawab keyakinannya itu. Kebutuhan Kiran tersebut merupakan kepribadian anak yang mengandung potensi spontanitas dan kretaifitas. Dahiri menyadari kebutuhan Kiran dan dia membantu Kiran dengan menanamkan ideologi yang dianggap benar untuk membawa Kiran dalam kedamaian yang dicarinya, ini merupakan kepribadian orang tua. Dan hubungan interpersonal Kiran dan Dahiri berlangsung baik dengan transaksi yang bersifat komplementer.
Kiran yang tidak pandai bergaul memilih Dahiri yang mempunyai kelebihan dapat berargumen dan pemikiran yang keras tentang syariah islam. Ia ingin langkahnya berada pada jalur pemahaman yang benar tentang islam. Dengan cara ini Kiran dapat memperoleh keuntungan. Pertama Kiran mencari dalih dengan ketidakmampuannya “jika bukan karena kamu, pasti banyak kawan yang mau dekat dengan aku”. Kedua, ia menimbulkan perasaan bersalah pada Dahiri, sehingga Dahiri akan terus membimbingnya.

2. PESAN LINGUISTIK

Menurut Mulyana (2004), Bahasa terikat oleh konteks budaya. Dengan ungkapan lain, bahasa dapat dipandang sebagai perluasan budaya. Menurut Hipotesis Sapir Whorf, sering juga disebut Teori Relativitas Linguistik, sebenarnya setiap bahasa menunjukkan suatu dunia simbolik yang khas yang melukiskan realitas pikiran, pengalaman batin dan kebutuhan pemakainya. Jadi bahasa sebenarnya mempengaruhi pemakainya untuk berpikir, melihat lingkungan dan alam semesta dengan cara yang berbeda sehingga berperilaku berbeda.
Bahasa memungkinkan kita menyandi peristiwa dan obyek obyek dalam bentuk kata-kata. Dengan bahasa kita mengabstraksikan pengalaman kita dan mengkomunikasikannya dengan orang lain. Bahasa merupakan sistem lambang tak terbatas, yang mampu mengungkapkan segala macam pemikiran. Bahasa adalah prasyarat kebudayaan yang tidak dapat tegak tanpa itu atau dengan sistem lambang yang lain. ( Jalaludin Rakhmat; 2004) . Bahasa memiliki kekuatan untuk mengubah pendapat, keyakinan yang menggerakkan seseorang melakukan sesuatu, menimbulkan perasaan tertentu, bahkan mengendalikan diri.
Kata sebagai bagian dari bahasa mengandung dua aspek yaitu aspek bentuk atau ekspresi dan aspek isi atau makna. Makna kata adalah hubungan antara bentuk dengan hal atau benda yang diwakilinya (referent).
Adanya fenomena yang timbul dimasyarakat mengenai penggunaan kata kata kiasan dan peribahasa didalam kehidupan sehari hari adalah karena masih adanya norma-norma dan budaya yang masih dijunjung tinggi didalam pergaulan dimasyarakat. Percakapan yang digunakan sehari hari terutama kepada orang yang lebih dihormati biasanya menggunakan bahasa, kata-kata dan kalimat yang sopan, halus dan baik. Begitu juga untuk mengungkapkan perasaan senang dan tidak senang kepada seseorang juga menggunakan bahasa yang mencerminkan perasaannya. Kata-kata yang diungkapkan dalam percakapan seseorang menunjukkan apa yang ada dalam pikirannya dan biasanya ucapan akan diikuti dengan tindakan. Contohnya bila seseorang mengatakan mau makan biasanya diikuti dengan tindakan makan, mau mandi diikuti dengan tindakan mandi dan lain sebagainya.
Seperti penggalan dialog yang terdapat pada halaman 38-39 alur cerita novel ini antara Dahiri dan Kiran pada saat Kiran meminta penjelasan tentang pemahaman islam Dahiri yang menyebutkan islam di Indonesia belum sempurna dan berbalik pada ajaran islam yang sesungguhnya.
Dahiri: “Kuulangi sekali lagi padamu bahwa keislaman kita di Indonesia belum ada apa-apanya, belum murni. Kita masih pada fase Mekkah. Islam yang sah adalah Islam fase Madinah. Dan sekarang Islam di Madinah itu belum juga ada dan masih dalam taraf di usahakan. Islam di Madinah adalah Islam Negara. Daulah. Keabsahan beragama dan tegaknya syariat tadi ditentukan oleh apakah kita memiliki daulah atau tidak. Dan kami punya rencana besar untuk mengusahakan berdirinya Daulah Islamiyah Indonesia”.

Kiran : “Hah, mendirikan Daulah? Daulah seperti apa itu, Mas?”
Dahiri : “Belum saatnya. Nanti juga akan kamu tahu. Tapi kutekankan padamu, ini adalah gerakan rahasia. Top Secret. Yang poko sekarang adalah kalau ada keraguan, jangan kembalikan pada manusia tapi pada Allah. Kalau bertanya, janganlah tanya pada orang lain, tapi tanya pada saya”.
Kiran : “Iya Mas”
Dari percakapan tersebut bisa kita lihat kata-kata kiasan yang dipergunakan oleh masing-masing orang mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran dan mengungkapkan perasaannya. Dahiri menggunakan bahasa yang halus tapi tegas dan Kiran menggunakan bahasa yang menandakan kebingungannya.
Makna muncul dari hubungan khusus antara kata (sebagai simbol verbal) dan manusia. Makna tidak melekat pada kata-kata, namun kata-kata membangkitkan makna dalam pikiran. “Hah, mendirikan Daulah. Daulah seperti apa” adalah salah satu contoh kalimat dimana makna tidak melekat pada kata-kata tapi kata-kata yang memberikan makna dalam pikiran. Daulah merupakan conth kata yang berarti negara Islam yang disepakati makananya oleh para aktifis islam garis keras
Makna dari kalimat diatas bisa diartikan karena adanya kesepakatan antar sekelompok orang untuk memberikan arti atau makna yang sama. Kata-kata seperti yang kita ketahui diberi arti secara arbitrer (semaunya) oleh kelompok -kelompok sosial.
Kata hanyalah simbol verbal dari suatu obyek yang diwakilinya. Jadi kata bukanlah sesuatu atau benda , karena dalam definisi disebutkan symbol adalah sesuatu yang digunakan untuk atau dipandang sebagai wakil sesuatu lainnya. Kata tidak hanya mempresentasikan obyek atau benda, tetapi juga peristiwa atau kejadian, sifat sesuatu benda atau obyek, aksi atau tindakan, hubungan, konsep dan sebagainya .




















DAFTAR PUSTAKA

Berlo, SA,S.J. beebe dan MV. Redmond, 1988. Interpersonal Communication, Relating to Others, Allyn and Bacon. Boston. USA.

Dahlan, Muhidin M. 2005. Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur, Memoar Luka Seorang Muslimah. Scriptamanent. Yogyakarta.

Depari, E dan macAndrews, C, 1988, Peranan komunikasi Massa dalam Pembangunan, Suatu Kumpulan Karangan, UGM.

Devito, J.A, 1997. Komunikasi Antar Manusia, Kuliah dasar, Edisi ke 5. Profesional Books. Jakarta.

Liliweri, alo, 1994, Perspektif teoritis, komunikasi Antar Pribadi, Suatu Pendekatan ke Arah psikologi Sosial Komunikasi, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Little John, stephen W, 1996, Theories Of Human Communication, Fifth Edition, Wadsworth Publishing Company, California USA.

Mulyana, D, 2004, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, edisi ke 6, Rosdakarya, Bandung.

Rakhmat, J, 2004, Psikologi Komunikasi, Edisi ke 21, rosdakarya bandung.
Sereno, Kenneth. K dan Bodaken Edward. M, 1975. Trans-Per Understanding Human Communication, Houghton Mifflin Company. Boston.

Tubbs, SL dan S. Moss, 1983, Human Communication, Fourth Edition. Random House Inc .New York.

Bahan Kuliah psikologi Komunikasi, 2006.

Monday, March 12, 2007

KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA DI KALIMANTAN SELATAN

KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA DI KALIMANTAN SELATAN
( KAJIAN TEORITIS MELALUI PERSPEKTIF
KOMUNIKASI PEMBANGUNAN)

BAB I

PENDAHULUAN


Sejarah pertambangan batubara di Indonesia di mulai pada tahun 1849 di Pengaran, Kalimantan Timur. Pada tahun 1888 suatu perusahaan swasta, N.V. Oost Borneo Maatschappij, memulai kegiatan penambangan batubara di Pelarang (sekitar 10 km di sebelah tenggara Samarinda).
Indonesia memiliki cadangan batubara yang cukup besar, diperkirakan sebesar 36 milyar ton dan tersebar di Sumatera 63,83% (4,70% di Aceh, 11,40% di Sumatera Tengah, dan 51,73% di Sumatera Selatan), Kalimantan 31,64% (9,99% di Kalimantan Selatan, 14,62% di Kalimantan Timur, 5,83% di Kalimantan Barat, 1,20% di Kalimantan Tengah) dan sisanya di Jawa, Sulawesi dan Papua (Soedjoko dan Abdurrahman, 1993).
Batubara merupakan sumberdaya mineral yang memiliki nilai yang strategis dan potensial untuk memenuhi kebutuhan energi dalam dan luar negeri. Eksport batubara Indonesia terus mengalami peningkatan, pada tahun 1985 sebesar 1,1 juta ton, tahun 1991 sebesar 8,7 juta ton dan tahun 1995 sebesar 22 juta ton (Sukandarrumi, 1995).
Kalimantan Selatan adalah penyumbang batubara nasional kedua terbesar setelah Kalimantan Timur. Pada tahun 2000 dari total produksi batubara nasional yang mencapai 75,8 juta ton, Kalimantan Timur memberikan kontribusi 38,04 juta ton dan Kalimantan Selatan 27,2 juta ton. Begitu pula pada tahun 2001, dari total produksi batubara nasional yang mencapai 92,5 juta ton, sekitar 48,2 juta ton dihasilkan Kalimantan Timur dan 33,4 juta ton dari Kalimantan Selatan.
Potensi sumberdaya alam berupa tambang batubara yang dimiliki daerah Kalimantan Selatan cukup besar dengan kualitas yang baik serta keberadaannya hampir menyebar di seluruh Kabupaten (Banjar, Tanah Laut, Kotabaru, Tanah Bumbu, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Selatan, Tapin dan Tabalong). Sehingga dibeberapa daerah, sektor pertambangan menjadi sektor andalan dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
Sumberdaya mineral merupakan salah satu sumberdaya alam yang berpotensi menjadi salah satu modal pembangunan bagi suatu daerah, khususnya pada era otonomi daerah dimana pemerintah kabupaten atau kota memiliki kewenangan dalam pengelolaan pertambangan. Karena sifatnya yang tidak dapat diperbaharui atau non-renewable resource, artinya sekali bahan galian dikeruk, maka tidak akan dapat pulih atau kembali ke keadaan semula. Eksploitasi sumberdaya mineral yang tidak mengikuti kaidah-kaidah pertambangan yang baik justru tidak memberi manfaat bagi pemerintah maupun masyarakat. Bahkan dampak-dampak lingkungan yang ditimbulkan dapat menjadi beban bagi pemerintah daerah.
Pengelolaan sumberdaya mineral selama ini mengacu pada Undang-Undang No.11 tahun 1967 tentang pokok-pokok pertambangan beserta peraturan pelaksanaannya. Bahkan tambang dibagi menjadi 3 golongan, yaitu bahan galian strategis, bahan galian vital dan bahan galian yang tidak termasuk strategis maupun vital, atau yang dikenal sebagai bahan galian golongan C. Menurut UU tersebut, bahan galian strategis dan vital dikelola oleh pemerintah pusat sementara untuk golongan C kewenangan pengelolaannya diserahkan kepada Gubernur.
Otonomi daerah yang dimulai dengan terbitnya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah (kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004) dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah pusat dan provinsi sebagai daerah otonom, menyerahkan kewenangan pengelolaan bahan tambang terutama ke kabupaten atau kota. Pemerintah mengganti PP Pertambangan dengan PP No. 75 Tahun 2001 yang mengatur syarat-syarat dan prosedur untuk memperoleh kuasa pertambangan yang secara teknis diatur dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1453 K/29/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di bidang pertambangan umum.
Setelah berjalan selama 5 tahun, pengelolaan pertambangan di berbagai daerah termasuk di Kalimantan Selatan menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan. Pemindahan kewenangan pengelolaan pertambangan dari pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten atau kota mendorong kegiatan pertambangan batubara berkembang pesat dan apabila tidak diikuti dengan kemampuan yang memadai dari aparat pemerintah daerah untuk melaksanakan tugasnya dengan baik menyebabkan kegiatan pertambangan di beberapa daerah menjadi tidak terkendali, yang salah satu dampaknya adalah dalam bentuk kerusakan lahan bekas tambang.
Pertambangan batubara tidak hanya diusahakan oleh perusahaan pertambangan batubara yang memiliki izin, tetapi ternyata diusahakan pula oleh perusahaan pertambangan batubara tanpa izin, yang disebut PETI. Kewajiban yang dibebankan kepada pengusaha pertambangan batubara untuk melakukan reklamasi ternyata baru dilaksanakan 52% saja dari seluruh areal bekas galian tambang batubara tersebut. Ditambah lagi dengan ulah penambang PETI yang setelah selesai menambang membiarkan begitu saja areal bekas tambang batubara dalam kondisi terbuka, sehingga berdampak negatif penting terhadap lingkungan (PPLH Unlam, 2006).
Dari sudut pandang lingkungan hidup kegiatan industri pertambangan batubara merupakan industri yang dalam jangka pendek dijadikan sebagai alternatif pendapatan secara ekonomi bagi masyarakat sekitar tambang walaupun disisi lain juga merusak lahan pertanian dan perkebunan masyarakat, membuka kawasan hutan menjadi lahan pertambangan. Dalam jangka panjang kegiatan pertambangan merupakan penyumbang terbesar lahan sangat kritis yang susah untuk dikembalikan lagi sesuai dengan fungsi awalnya (rona awal). Hal ini tentu saja merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup fungsi lahan di Kalimantan Selatan. Sampai tahun 2005 lingkungan hidup Kalimantan Selatan terdapat kritis seluas 3.147.518,40 Ha (BP DAS Barito).
Pencemaran dan keruskan lingkungan akibat industri pertambangan juga cukup dirasakan oleh masyarakat khususnya di sekitar kegiatan belum termasuk debu yang terbang ke arah perkotaan. Meningkatnya penyakit ISPA di perkampungan yang dilalui oleh truk batubara baik dijalan perusahaan maupun jalan umum merupakan indikasi begitu parahnya pencemaran udara akibat debu batubara. Kerusakan tambak masyarakat di daerah pantai akibat pelabuhan khusus batubara dan terganggunya sumberdaya terumbu karang merupakan contoh kecil kerusakan dan pencemaran lingkungan di daerah pesisir. Serta munculnya bencana banjir dibeberapa daerah yang daerahnya merupakan aktifitas pertambangan batubara.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas menurut penulis salah satu faktor penyebabnya adalah proses komunikasi yang belum dapat berjalan dengan baik. Pesan yang disampaikan oleh pemerhati lingkungan belum dapat mengubah sikap dan pendapat penerima pesan untuk tidak melakukan eksploitasi besar-besaran pada pertambangan batubara. Oleh karena itu dalam penulisan di bawah ini, penulis mencoba menganalisis permasalahan tersebut melalui perspektif komunikasi pembangunan.
1. Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
Bagaimana kondisi pertambangan batubara di Kalimantan Selatan.
Bagaimana peran komunikasi pembangunan dalam rangka pengendalian dampak lingkungan batubara di Kalimantan Selatan.

1. Tujuan dan Kegunaan
a. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengkritisi dan mendeskripsikan kegiatan pertambangan Batubara di Kalimantan Selatan dan dampaknya bagi pembangunan ditinjau dari teori-teori komunikasi dalam pembangunan.
b. Kegunaan dari penulisan ini selain untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur Mata Kuliah Komunikasi Perdesaan, juga merupakan salah satu praktek penerapan model komunikasi untuk menganalisis suatu permasalahan secara teoritis.













BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. PENGERTIAN KOMUNIKASI

Komunikasi merupakan kegiatan yang dominan dalam kehidupan kita sehari-hari. Menurut sejumlah penelitian, 75 % dari seluruh waktu kita dipakai untuk berkomunikasi (Tubb dan Moss; 2000).
Pengertian komunikasi itu sendiri, antara ahli komunikasi berbeda latar belakang perspektif dalam mendefinisikan komunikasi. Tetapi setidaknya komunikasi dapat diartikan proses penyampaian dan penerimaan lambang lambang yang mengandung arti, baik yang berwujud informasi informasi, pemikiran pemikiran, pengetahuan ataupun hal hal lain dari komunikator/penyampai pesan kepada komunikan/penerima. Lebih tegas lagi Everett M. Rogers (1955) mengungkapkan bahwa komunikasi adalah proses yang didalamnya terdapat suatu gagasan yang dikirimkan dari sumber kepada penerima dengan tujuan untuk merubah perilakunya.
Komunikasi merupakan suatu proses, maka untuk mudah memahami proses tersebut maka dibawah ini dikemukakan salah satu model komunikasi yang dipergunakan penulis untuk menganalisa kasus dalam penulisan makalah ini






Model ini dikenal dengan model SMCR. Kepanjangan dari Source (sumber), Message (pesan), Channel (saluran), dan Receiver (penerima). Menurut Berlo, sumber adalah pihak yang menciptakan pesan baik seseorang ataupun suatu kelompok. Pesan adalah terjemahan gagasan kedalam suatu kode simbolik, seperti bahasa atau isyarat; saluran adalah medium yang membawa yang membawa pesan; dan penerima adalah orang yang menjadi sasaran komunikasi.
Dalam situasi tatap muka, kelompok kecil dan komunikasi publik (pidato), saluran komunikasinya adalah udara yang menyalurkan gelombang suara. Dalam komunikasi massa, terdapat banyak saluran : Televisi,radio, surat kabar, buku dan majalah .
Menurut model ini, sumber dan penerima pesan dipengaruhi faktor faktor : keterampilan komunikasi, sikap, pengetahuan, sistem sosial, dan budaya. Pesan dikembangkan berdasarkan elemen, struktur, isi, perlakuan, dan kode. Salurannya berhubungan dengan panca indera : melihat,mendengar,menyentuh, membaui, dan merasai (mencicipi) (dalam Dedy Mulyana; 2002).

2. ADOPSI DAN DIFUSI INOVASI

A. ADOPSI
Adopsi adalah keputusan untuk mengunakan secara menyeluruh suatu inovasi. Keputusan dapat berubah arah setelah proses selanjutnya seperti discontinuance yaitu keputusan untuk menolak inovasi setelah mengadopsinya. Penyebabnya adalah karena ketidakpuasan atas adanya ide baru tersebut. Namun penolakan juga dapat berubah menjadi adopsi. Perubahan ini biasanya terjadi pada tahap konfirmasi.
Proses adopsi merupakan proses - proses yang terjadi sejak pertama kali seseorang mendengar hal yang baru sampai orang tersebut mengadopsi (menerima, menerapkan, menggunakan) hal yang baru tersebut.
Adopsi adalah suatu keputusan untuk memanfaatkan sepenuhnya suatu ide baru (inovasi) dimana keputusan ini merupakan jalan terbaik dari tindakan - tindakannya. (Roger dan Shoemaker 1971)
Kategori adopters yang mengadopsi suatu inovasi adalah klasifikasi anggota sistem sosial berdasarkan innovativeness yang didasari juga oleh waktu relatif yang dibutuhkan untuk mengadopsi suatu inovasi. Rogers and shoemeker mengelompokkan masyarakat yang menghadapi pengadopsian inovasi sebagai berikut:
Inovator
Pengadopsi dini (Early Adopter)
Mayoritas dini (Early Majority)
Mayoritas terlambat (Late Majority)
Orang belakangan (Laggard)
Traxler, M. Renkow and L.W. Harrington. (1991) mendefinisikan adopsi sebagai derajat atau tingkat penggunaan suatu teknologi tertentu oleh pemakai atau petani. Lebih jauh dikatakan, bahwa petani sebagai pengadopsi dibagi menjadi :
User (pengguna). Petani secara total menggunakan teknologi yang direkomendasikan pada waktu itu.
Partial User (pengguna Parsial). Petani hanya menggunakan sebagian dari teknologi yang direkomendasikan.
Ex-User (mantan pengguna). Petani yang telah mencoba teknologi yang direkomendasikan, tetapi telah memutuskan tidak mengunakannya lagi.
Non-User (bukan pengguna). Petani yang secara sadar sejak awal memutuskan tidak menggunakn teknologi yang direkomendasikan.
Tahap-tahap proses adopsi, proses dimana seseorang mulai mengenal adanya suatu inovasi sampai mereka menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari dapat melalui beberapa tahap. Menurut penelitian di Amerika Serikat yang dilakukan oleh north central rural sosiology sub committee of farm practice, bahwa tahapan proses adopsi dalam penerimaan perubahan (inovasi) melalui tahap-tahap berikut yaitu :
Awreness yaitu kesadaran adanya suatu inovasi
Interest yaitu adanya ketertarikan terhadap inovasi tersebut
Evaluation yaitu proses mencari informasi atas inovasi yang kemungkinan akan diterima.
Trial yaitu tahap percobaan terhadap inovasi baru tersebut
Adoption yaitu proses mengadopsi atau menerima inovasi baru tersebut.

B. DIFUSI
Difusi adalah bentuk khusus dari komunikasi. Difusi merupakan proses dimana inovasi tersebar kepada anggota suatu sistim sosial. Pengkajian difusi adalah mengenai telaahan pesan-pesan yang berupa ide ataupun gagasan baru, sedangkan peran komunikasi pengkajian meliputi telaahan terhadap semua bentuk pesan.
Rogers 1983, mendefinisikan difusi sebagai proses dimana suatu inivasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu dalam jangka waktu tertentu di antara para angota tertentu suatu sistem sosial (The process by which an innovation is communicated through certain channels overtime among the members of a social system)
Proses difusi adalah Proses penyebaran informasi yang terjadi dalam masyarakat, mulai seseorang menyadari adanya inovasi, berminat pada inovasi, menilai sesuatu inovasi, mencoba suatu inovasi, dan menerapkan inovasi kemudian seseorang tersebut menyebarkan inovasi tersebut kepada anggota masyarakat dalam sistem sosialnya.
Lionberger (1968) Mengemukakan beberapa hal yang mempengaruhi proses difusi yaitu:
Faktor-faktor sosial, seperti kelompok-kelompok lokal, sifat-sifat kekeluargaan, kik sosial, kelompok-kelompok anutan, kelompok-kelompok anutan, kelompok-kelompok formal, dan faktor status.
Faktor-faktor budaya, yang mencakup sistim nilai dan tingkah laku
Faktor-faktor personal, yang mencakup umur, pendidikan, dan ciri psikologis.
Faktor-faktor situasional, seperti tingkat pendapatan, luas usahatani, status dan kedudukan, gengsi sosial, sumber-sumber informasi yang digunakan, tingkat kehidupan, dan praktik-praktik yang bersfat alami.
Peran komunikasi memfokuskan perhatian pada usaha untuk merubah pengetahuan atau sikap dengan kata lain menghasilkan persuasi atau perubahan sikap yang lebih besar pada penerimanya dengan merubah bentuk sumber, pesan, saluran atau penerima dalam proses komunikasi. Peran difusi lebih pada memusatkan perhatian pada terjadinya perubahan tingkah laku yang tampak (behavioral) yaitu sikap penerima atau menolak ide-ide baru daripada sekedar perubahan dalam pengetahuan dan sikap saja.
Menurut Rogers dan Shoemaker dalam Nasution (1988), studi difusi mengkaji pesan-pesan yang berupa ide-ide ataupun gagasan-gagasan baru. Namun karena pesan-pesan yang disampaikan itu berupa hal-hal baru, maka di pihak penerima akan timbul suatu derajat resiko tertentu. Hal ini kemudian menyebabkan perilaku yang berbeda pada penerima pesan, dari suatu penerima pesan berhadapan dengan pesan-pesan biasa yang bukan inovasi.
Proses difusi inovasi dalam bidang pertanian khususnya adalah menyebarnya inovasi kepada petani yang prosesnya bukan hanya selangkah demi selangkah menuju ke arah adopsi suatu inovasi, melainkan lebih jauh mengarah kepada cara inovasi tersebut jadi diadopsi oleh lebih banyak petani (Mosher, 1978 dalam hasibuan 2003)
Unsur-unsur utama difusi ide, yaitu meliputi : Inovasi, yang dikomunikasikan melalui saluran tertentu, dalam jangka waktu tertentu, dan diantara sistem sosial.

C. INOVASI
Inovasi adalah suatu ide, praktek atau obyek yang dipersepsikan secara baru oleh seseorang atau sekelompok orang. Inovasi dapat menimbulkan ketidakpastian dalam derajat tertentu yang dapat dikurangi dengan adanya informasi.
Inovasi adalah suatu ide atau gagasan yang dipandang baru oleh seseorang. Inovasi adalah suatu gagasan, tidakan atau teknologi yang dianggap baru, diperbaharui, atau baru diketahui oleh seseorang sejauh di hubungkan dengan tingkah laku manusia (Roger dan Shoemaker, 1971).
Ada lima tahap yang dikonseptualisasikan dalam proses putusan penerimaan suatu inovasi, yaitu:
Pengetahuan (knowledge)
Persuasi (persuasion)
Keputusan (decision)
Pelaksanaan (Implementation)
Peneguhan (Compirmation)
Ciri-ciri inovasi yang dirasakan oleh para anggota suatu sistem sosial menentukan tingkat adopsi. Lima ciri inovasi menurut Rogers 1971 adalah sebagai berikut :
Keuntungan relative (relative adventage )
Kesesuaian (Compatibility)
Kerumitan (Complexity)
Kemungkinan dicoba (Trialibity)
Kemungkinan dilihat (Observability)
Pada masyarakat yang sedang membangun seperti pada negara-negara dunia ketiga, penyebaran (difusi) inovasi terjadi terus menerus, dari suatu tempat ke tempat yang lain, dari suatu waktu ke kurun waktu berikutnya, dari bidang tertentu ke bidang lainnya. Difusi inovasi sebagai suatu gejala kemasyarakatan berlangsung berbarengan dengan perubahan sosial yang terjadi. Bahkan kedua hal itu merupakan sesuatu yang saling menyebabkan satu sama lain. Artinya, penyebaran inovasi menyebabkan masyarakat menjadi berubah, dan perubahan sosial pun merangsang orang untuk menemukan dan menyebarluaskan hal-hal baru.

3. JARINGAN KOMUNIKASI
Yang dimaksud jaringan komunikasi adalah saluran yang digunakan untuk meneruskan pesan dari satu orang ke orang lain. Jaringan ini dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, kelompok kecil sesuai dengan sumberdaya yang dimilikinya akan mengembangkan pola komunikasi yang menggabungkan beberapa struktur jaringan komunikasi. Jaringan komunikasi ini kemudian merupakan sistim komunikasi umum yang akan digunakan oleh kelompok dalam mengirimkan pesan dari satu orang keorang lainnya. Kedua, jaringan komunikasi ini biasa dipandang sebagai struktur yang diformalkan yang diciptakan oleh organisasi sebagai sarana komunikasi organisasi. Beberapa pengertian jaringan komunikasi menurut beberapa ahli dapat disebutkan sebagai berikut::
1) Pengertian jaringan komunikasi menurut Rogers (1983) adalah suatu jaringan yang terdiri atas: individu-individu yang saling berhubungan, yang dilambangkan oleh arus komunikasi yang terpola.
2) Hanneman dan Mc Ever dalam Djamali (1999) menyatakan bahwa jaringan komunikasi adalah pertukaran informasi yang terjadi secara teratur antara dua orang atau lebih.
3) Knoke dan Kuklinski (1982) melihat jaringan komunikasi sebagai suatu jenis hubungan yang secara khusus merangkai individu-individu, obyek-obyek dan peristiwa-peristiwa.
4) Berger dan Chaffee mengutip pendapat Farace (1977) melihat jaringan komunikasi sebagai suatu pola yang teratur dari kontak antara person yang dapat diidentifikasi sebagai pertukaran informasi yang dialami seseorang di dalam sistem sosialnya (Berger dan Chaffee. 1987:239).
5) Feldman dan Arnold (1993) membedakan jaringan komunikasi menjadi dua jenis, yaitu jaringan komunikasi formal (menyerupai struktur organisasi) dan jaringan komunikasi informal yang disebut juga sebagai grapevine atau benalu komunikasi.
6) Sajogyo (1996) mengistilahkan jaringan komunikasi informal ini sebagai jaringan komunikasi tradisional. Jaringan komunikasi tradisional merupakan saluran komunikasi yang paling penting untuk mobilisasi desa .
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan pengertian jaringan komunikasi secara lebih khusus sesuai dengan penelitian ini, yaitu suatu rangkaian hubungan di antara individu-individu dalam suatu sistem sosial sebagai akibat dari terjadinya pertukaran informasi di antara individu-individu tersebut, sehingga membentuk pola-pola atau model jaringan komunikasi tertentu.
Rogers dan Kincaid (1981) membedakan pola atau model Jaringan komunikasi ke dalam Jaringan Personal Jari-jari (Radial Personal Network) dan Jaringan Personal Saling mengunci (Interlocking Personal Network). Model Jaringan demikian bersifat memusat dan menyebar. Jaringan personal yang memusat (interlocking) mempunyai derajat integrasi yang tinggi. Sementara suatu Jaringan personal yang menyebar (radial) mempunyai derajat integrasi yang rendah, namun mempunyai sifat keterbukaan terhadap lingkungannya. Selanjutnya Rogers dan Kincaid menegaskan, individu yang terlibat dalam Jaringan komunikasi interlocking terdiri dari individu-individu yang homopili, namun kurang terbuka terhadap lingkungannya.
Berbeda dengan Rogers dan Kincaid yang menekankan model jaringan komunikasi pada masyarakat yang lebih luas, DeVito lebih menekankan pada struktur jaringan komunikasi yang terjadi dalam kelompok atau organisasi. Menurut DeVito (1997), ada lima struktur jaringan komunikasi kelompok, yang juga akan relevan di dalam menganalisis model jaringan komunikasi di lingkaran klik. Kelima struktur tersebut adalah:
1) Struktur Lingkaran
2) Struktur Roda
3) Struktur Y
4) Struktur Rantai
5) Sruktur Semua Saluran.
Struktur lingkaran tidak memiliki pemimpin, semua anggota posisinya sama. Struktur roda mempunyai pemimpin yang jelas, yaitu posisinya di pusat. Struktur Y relatif kurang tersentralisasi dibanding Karakteristik Individu dan Perilaku Komunikasi dengan struktur roda, tetapi lebih tersentralisasi dibanding dengan poia lainnya. Struktur rantai sama dengan struktur lingkaran, kecuali orang yang paling ujung hanya dapat berkomunikasi dengan satu orang saja. Struktur semua saluran atau pola bintang hampir sama dengan struktur lingkaran, dalam arti semua anggota adalah sama dan semuanya memiliki kekuatan yang sama untuk mempengaruhi anggota lainnya. Kelima struktur jaringan komunikasi dapat dilihat pada gambar dibawah ini. Setiap diagram menunjukan adanya lima individu, meskipun suatu jaringan komunikasi bisa melibatkan sejumlah orang selain lima,dan tanda panah menunjukan arah pesan itu mengalir.
Lingkaran
Roda
Y
Rantai
Semua Saluran


Struktur Lingkaran. Strukutur lingkaran tidak memiliki pemimpin. Semua anggota posisinya sama. Mereka memiliki wewenang atau kekuatan yang sama untuk mempengaruhi kelompok. Setiap anggota bisa berkomunikasi dengan dua anggota lain di sisinya.
Struktur Roda. Struktur roda memilki pemimpin yang jelas. Yaitu yang posisinya dipusat. Orang ini merupakan satu-satunya yang dapat mengirim dan menerima pesan dari semua anggota. Oleh karena itu, jika seorang anggota ini berkomunikasi dengan anggota lain, maka pesannya harus disampaikan melalui pemimpinnya.
Struktur Y. Struktur Y relative kurang tersentralisasi di banding dengan strukrur roda , tetapi lebih tersentralisasi dibandingkan dengan pola lainnya. Pada struktur Y juga terdapat pemimpin yang jelas . tetapi semua anggota lain berperan sebagai pemimpin kedua. Anggota ini dapat menngirimkan dan menerima pesan dari dua orang lainnya. Ketiga anggota lainnya komunikasinya terbatas hanya dengan satu orang lainnya.
Struktur Rantai. Struktur rantai sama dengan struktur lingkaran kecuali bahwa para anggota yang paling ujung hanya dapat berkomunikasi dengan satu orang saja. Keadaan terpusat juga terdapat disini. Orang yang berada di posisi tengah lebih berperan sebagai pemimpin daripada mereka yang berada di posisi lain.

4. PERAN KOMUNIKASI PEMBANGUNAN
Komunikasi pembangunan merupakan segala upaya dan cara, serta teknik penyampaian gagasan, dan ketrampilan ketrampilan pembangunan yang berasal dari pihak yang memprakarsai pembangunan dan ditujukan kepada masyarakat luas. Kegiatan tersebut bertujuan agar masyarakat yang dituju dapat memahami, menerima, berpartisipasi dalam melaksanakan gagasan gagasan yang disampaikan tadi.
Dalam arti yang luas, komunikasi pembangunan meliputi peran dan fungsi komunikasi (sebagai aktivitas pertukaran pesan secara timbal balik) diantara semua pihak yang terlibat dalam usaha pembangunan, terutama antara masyarakat dengan pemerintah, sejak dari proses perencanaan, kemudian pelaksanaan dan penilaian terhadap pembangunan ( Zulkarnain Nasution; 1996).
Dari konsep tersebut unsur unsur komunikasi tetap menjadi fokus utama yang dikelola untuk merubah sikap dan tingkah laku masyarakat. Intinya adalah menerapkan segala upaya dan cara serta teknik penyampaian gagasan dan ketrampilan pembangunan dari pemrakarsa (dalam hal ini Pemerintah sebagai komunikator) kepada masyarakat (receiver) sebagai penerima informasi yang ditujukan untuk merubah sikap dan tingkah lakunya. Dengan demikian kemampuan komunikator untuk mengemas pesan yang akan disampaikan, penerapan strategi komunikasi yang tepat serta memperhitungkan efek apa yang akan muncul merupakan suatu keharusan apabila menginginkan suatu pesan atau informasi dapat mencapai hasil seuai dengan apa yang diinginkan.
a. Penyusunan Pesan Komunikasi
Pesan merupakan materi yang akan diberikan kepada pihak komunikan (penerima informasi) dengan pengharapan agar apa yang diberikan itu dapat diterima oleh pihak komunikan secara baik. Sumber pesan juga menjadi perhatian karena akan memberikan suatu tanggapan tertentu terhadap materi yang dikemukakan. Sekalipun materinya sama, tetapi kalau sumbernya berbeda akan membawa perbedaan pula dalam menanggapi materi tersebut. Begitupun mengenai isi pesan sebaiknya jangan terlalu jauh dari kerangka acuan atau kerangka kehidupan; norma norma dan sebagainya dari pihak komunikan, maka diperlukan pemikiran secara matang tentang cara membawakan atau cara pendekatan kepada pihak komunikan.
Pesan komunikasi mempunyai tujuan tertentu. Ini menentukan teknik yang akan digunakan, apakah teknik informasi, teknik persuasi atau teknik instruksi. Apabila pesan yang disampaikan sifatnya adalah hanya untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat maka saluran yang dapat dipergunakan adalah media massa seperti TV, Radio, Surat kabar dan lain sebagainya. Apabila pesan yang ingin disampaiakan adalah untuk merubah sikap dan tingkah laku, maka saluran yang dapat dipergunakan adalah saluran komunikasi interpersonal. Atau dapat juga mempergunakan kedua saluran komunikasi tersebut untuk mendukung tujuan dari pesan yang disampaikan. Namun yang paling penting adalah bagaimana komunikan harus mengerti pesan komunikasi. Kondisi kondisi yang harus dipenuhi jika kita menginginkan suatu pesan membangkitkan tanggapan yang kita kehendaki antara lain :
· Pesan harus dirancangkan dan disampaikan sedemikian rupa, sehingga dapat menarik perhatian sasaran yang dimaksud.
· Pesan harus menggunakan tanda tanda yang tertuju kepada pengalaman yang sama antara sumber dan sasaran, sehingga sama sama dapat mengerti.
· Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi fihak sasaran dan menyarankan beberapa cara untuk memperoleh kebutuhannya itu.
· Pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan tadi, yang layak bagi situasi kelompok dimana sasaran berada pada saat ia digerakkan untuk memberikan tanggapan yang dikehendaki. ( Wilbur Schramm dalam Onong; 1979 ) .

b. Pemilihan Saluran Komunikasi
Saluran komunikasi adalah alat melalui mana sumber komunikasi menyampaikan pesan pesan (messages) kepada penerima (receiver), saluran ini dapat diangap sebagai penerus/ penyampai pesan yang berasal dari sumber informasi kepada tujuan informasi.Untuk menentukan saluran yang akan dipergunakan, maka perlu diketahui strategi komunikasi apa yang dipergunakan. Strategi komunikasi harus mampu menunjukkan bagaimana operasionalnya secara praktis harus dilakukan, dalam arti kata bahwa pendekatan (approach) bisa berbeda sewaktu waktu bergantung pada situasi dan kondisi.
Sebelum melakukan komunikasi, perlu dipelajari siapa siapa yang akan menjadi sasaran komunikasi, dan ini tergantung dari tujuan komunikasi, apakah untuk mengetahui saja atau agar komunikan melakukan tindakan tertentu. Faktor faktor yang harus diperhatikan antara lain :
1). Faktor kerangka referensi (frame of reference)
Pesan komunikasi yang akan disampaikan kepada komunikan harus disesuaikan dengan kerangka referensinya. Kerangka referensi terbentuk dalam diri individu atau sekelompok individu sebagai hasil dari paduan pengalaman, pendidikan, gaya hidup, norma hidup, status sosial, ideologi, cita cita dan sebagainya.
Dalam situasi antarpribadi mudah untuk mengenal kerangka referensi komunikan karena ia hanya satu orang. Yang sukar adalah mengenal kerangka referensi komunikan dalam suatu kelompok. Ada kelompok yang individu individunya sudah dikenal, ada juga yang tidak dikenal. Lebih sulit lagi mengenal kerangka referensi komunikan dalam komunikasi massa sebab sifatnya heterogen. Oleh karena itu, pesan yang disampaikan kepada khalayak melalui media massa hanya bersifat informatif dan umum, yang dapat dimengerti semua orang dan menyangkut kepentingan semua orang. Jika pesan yang akan disampaikan kepada khalayak adalah untuk dipersuasikan, maka akan lebih efektif bila khalayak dibagi menjadi kelompok kelompok khusus, lalu diadakan komunikasi kelompok dengan mereka, yang berarti komunikasi dilakukan secara dua arah atau timbal balik.
2). Faktor Situasi dan Kondisi
Yang dimaksud dengan situasi disini adalah situasi komunikasi pada saat komunikan akan menerima pesan yang disampaikan. Situasi yang bisa menghambat jalannya komunikasi dapat diduga sebelumnya, dapat juga datang tiba tiba pada saat komuniksi dilancarkan.
Yang dimaksud dengan kondisi adalah keadaan fisik dan psikis komunikan pada saat ia menerima pesan komunikasi. Yang perlu diperhatikan adalah situasi dan kondisi yang ada dalam diri maupun diluar diri komunikan.
Pada komunikasi massa,saluran yang biasa digunakan adalah media cetak dan media elektronik. Sedangkan pada komunikasi tatap muka, saluran yang digunakan adalah suara dan pandangan, mendengarkan dan memperhatikan satu sama lain.
Media komunikasi banyak jumlahnya, mulai dari yang tradisional sampai yang modern. Untuk mencapai sasaran dapat dipilih salah satu atau gabungan dari beberapa bentuk media, bergantung pada tujuan yang akan dicapai. Mana yang baik dari sekian banyak media komunikasi tidak dapat ditegaskan dengan pasti, sebab masing masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Pemilihan media harus dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi dimana sasaran komunikasi tersebut berada.
3. Hasil Yang Diinginkan
Pada suatu tindak komunikasi selalu ada konsekensi (Devito;1997). Konsekuensi inilah yang biasa disebut dengan efek, pengaruh atau reaksi penerima terhadap pesan yang diterima,sehingga terjadi perubahan pada dirinya. Menurut Gonzales (dalam jahi;1986) dimensi efek komunikasi menyangkut kognitif, psikomotor dan afektif.
Agar komunikasi (pembangunan) lebih berhasil mencapai sasarannya, serta dapat menghindarkan kemungkinan efek yang tidak diinginkan maka perlu diperhitungkan kesenjangan antara komunikator dengan komunikan. Perlu dikembangkan suatu pengertian yang lebih bersifat timbal balik diantara partisipan komunikasi dalam hal pengertian, perhatian, kebutuhan ataupun titik pandang.
Selain itu diperlukan partisipasi semua pihak yang ikut serta dalam suatu proses komunikasi, demi tercapainya suatu fokus bersama dalam memandang permasalahan yang dihadapi. Dengan perkataan lain pendekatan ini bertolak dari dialog antara semua pihak, dan bukan (seperti selama ini) hanya atau lebih banyak ditentukan oleh salah satu pihak (biasanya komunikator) saja.
























BAB III
PEMBAHASAN

1. Adopsi dan Difusi Aktifitas Pertambangan Batubara di Kalimantan Selatan

Indonesia merupakan negara agraris yang kaya dengan potensi sumber daya alamnya, hal inilah yang juga membuat masyarakat Indonesia sebagian besar hidup dari sektor agraris tersebut dan secara otomatis SDA juga menjadi salah satu modal pembangunan di Indonesia.
Pembangunan sendiri menurut Slamet (1986) adalah merupakan serangkaian usaha berencana yang secara umum ditujukan untuk menimbulkan perubahan-perubahan yang bersifat positif, diinginkan dan bermanfaat pada diri manusia dan lingkungan sekitarnya. Sebagai akibat dari pembangunan, manusia yang menjadi sasaran pembangunan tersebut akan tumbuh dan berkembang, baik dalam arti badaniah dan rohaniah, sehingga dapat mengambil manfaat yang lebih baik dari lingkungannya. Dan untuk mewujudkan pembangunan diperlukan modal yang cukup agar proses pembangunan dapat berjalan dengan lancar. Perubahan-perubahan yang dicapai dalam proses pembangunan tersebut tidak terlepas dari peran penting proses komunikasi. Dimana komunikasi merupakan alat untuk mencapai suatu perubahan artinya tidak akan mungkin terjadi suatu proses pembangunan tanpa adanya komunikasi. Berlo (1967), Rogers (1995), Kincaid dan Schramm (1987) sepakat menyatakan bahwa komunikasi merupakan proses penyampaian informasi atau pesan dari sumber ke penerima, dengan tujuan timbulnya respon dari penerima sehingga melahirkan kesamaan makna.
Suatu inovasi yang dilakukan dengan mengembangkan potensi sektor pertambangan membuat negara-negara yang mengadopsi inovasi tersebut menjadi negara yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Hasil-hasil tambang di pasaran dunia memang dihargai dengan harga jual yang tinggi karena permintaan terhadap barang ini tinggi, sehingga tidaklah mengherankan negara-negara yang mempunyai potensi SDA disektor pertambangan berlomba-lomba mengekspor hasil tambangnya sehingga diperoleh keuntungan yang besar untuk membangun negaranya. Hal inilah yang juga memicu terjadinya penjajahan di Indonesia dikarenakan negara-negara penjajah seperti Belanda dan Jepang tidak memiliki SDA yang bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Mereka kebanyakan hanya memiliki potensi Sumber Daya Manusia (SDM) dan teknologi yang digunakan sebagai modal pembangunan negaranya. Keadaan itu berbanding terbalik dengan kondisi Indonesia yang saat itu kaya dengan SDA tetapi tidak diiringi dengan potensi SDM dan teknologi sehingga memudahkan negara-negara asing untuk melakukan penjajahan di Indonesia dengan kurun waktu yang lama. Setelah merdeka, hikmah dari penjajahan tersebut pemerintah Indonesia dapat mengadopsi inovasi-inovasi yang sebelumnya telah diadopsi oleh para penjajah untuk melaksanakan proses pembangunan. Salah satunya adalah dengan membuat kebijakan-kebijakan yang berpihak pada upaya pengembangan sektor pertambangan sebagai sumber devisa negara yang digunakan untuk modal pembangunan dan aktifitas pertambangan tersebut juga dapat mempersempit jumlah pengangguran di Indonesia karena menyerap tenaga kerja dengan jumlah yang cukup besar. Dan batubara merupakan salah satu hasil tambang yang saat ini marak dikembangkan di negara ini.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada latar belakang penulisan makalah ini, sejarah pertambangan batubara di Indonesia dimulai pada tahun 1849 di Pengaran, Kalimantan Timur. Artinya adopsi terhadap inovasi pengembangan tambang batubara di Indonesia pertama kali dilakukan di Pengaran Kalimantan Timur. Kemudian proses difusi berperan dalam penyebaran inovasi ini sehingga aktifitas pertambangan batubara meluas ke beberapa daerah di Indonesia termasuk Kalimantan Selatan. Pada tahap ini dilihat dari konteks komunikasi pembangunan dalam peningkatan ekonomi rakyat, pemerintah Indonesia berhasil membangkitkan suasana psikis di mana kegiatan ekonomi dan produktivitas terjadi. Ditandai dengan antusias masyarakat yang mulai banyak membuka usaha pertambangan batubara, sehingga produksi semakin hari semakin meningkat dan secara otomatis selain menguntungkan secara finansial dari si pelaku aktifitas pertambangan tersebut juga menguntungkan bagi proses pembangunan negara dimana negara mendapatkan devisa yang banyak dari ekspor batubara dan juga berhasil menurunkan tingkat pengangguran.

Gambar 1. Lokasi Tambang Batubara di Kalimantan Selatan

Potensi sumberdaya alam berupa tambang batubara yang dimiliki daerah Kalimantan Selatan cukup besar dengan kualitas yang baik serta keberadaannya hampir menyebar di seluruh Kabupaten (Banjar, Tanah Laut, Kotabaru, Tanah Bumbu, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Selatan, Tapin dan Tabalong), sehingga dibeberapa daerah di Kalimantan Selatan, sektor pertambangan menjadi sektor andalan dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Hal inilah yang membuat Kalimantan Selatan menjadi penyumbang batubara nasional kedua terbesar setelah Kalimantan Timur.

2. Kondisi Pertambangan Batubara di Kalimantan Selatan

2.1. Aktifitas Pertambangan Tanpa Izin (PETI)

Kegiatan pertambangan dapat dilakukan hanya berdasarkan izin atau kuasa pertambangan. Pertambangan batubara termasuk golongan galian B yang sebelumnya diatur oleh pemerintah pusat dengan mengeluarkan ijin dalam bentuk PKP2B. Di era otonomi pemerintah daerah mempunyai kewenangan mengeluarkan izin kuasa penambangan. Kuasa pertambangan yang dikeluarkan ada tiga bentuk yaitu Surat Keputusan Penugasan Pertambangan, Surat Kuasa Izin Pertambangan Rakyat dan Kuasa Pertambangan. Sistem perizinan ini terutama dikaitkan dengan dampak lingkungan akibat pertambangan sebagaimana diatur dalam UUPLH (UU No.23 Tahun 1997).
Di Kalimantan Selatan, pertambangan batubara tidak hanya dilakukan oleh Perusahaan yang mempunyai kuasa penambangan, tetapi juga dilakukan oleh pertambangan batubara tanpa izin atau PETI. Penambangan tanpa izin atau PETI tahap awal dimulai pada periode tahun 1989 dengan aktifitas yang kecil-kecilan dan berlindung dibalik fasilitas KUD dengan pelaku masyarakat dan perusahaan setempat diwilayah PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) PT. Chung Hua OMD di Kabupaten Banjar dan Tapin.
Selanjutnya aktifitas PETI menjadi semakin marak sejak krisis moneter terjadi pada tahun 1997 (terpicu dengan harga jual yang tinggi di pasaran dunia dan tingginya kurs dollar atas rupiah) dilakukan secara besar-besaran dan berlindung pada perusahaan yang memiliki ijin dengan pelaku masyarakat setempat, perusahaan dari luar Kalimantan Selatan dan pemegang KP eksplorasi dan KP eksploitasi. Berlokasi di PKP2B PT. Chung Hoa OMD, PT. Antang Gunung Meratus, PT. Adaro Indonesia, PT. Jorong Barutama Greston, PT. Arutmin Indonesia, di Kabupaten Hulu Sungai Utara(HSU), Hulu Sungai Tengah (HST), Hulu Sungai Selatan (HSS), Tapin, Banjar, Tanah Laut dan Kotabaru yang mengatasnamakan masyarakat setempat.
Tahun 1998 sampai tahun 2001 aktifitas PETI masih cukup besar namun terjadi fluktuasi dari jumlah penambang karena adanya upaya penertiban yang dilakukan oleh tim penertiban baik tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten. PETI sebagian masih memanfaatkan fasilitas KUD dan sebagian lagi memanfaatkan ijin dispensasi. Dengan adanya kebijakan 1 Januari 2000 tentang larangan angkutan batubara lewat jalan umum. Akan tetapi, kemudian bermunculan pelabuhan-pelabuhan batubara di samping Sungai Putting, Pasir Mas, Trisakti dan Jorong. Selanjutnya muncul pelabuhan baru di Sungai Kintap, Sungai Danau, Batulicin, Serongga, Geronggang dan Gunung Batu Besar.
Secara keseluruhan dari tahun 1989 sampai sekarang, kegiatan PETI secara fluktuatif masih berjalan namun secara sembunt-sembunyi. Ditemukan data di lapangan bahwa banyak yang melakukan kegiatan pada malam hari untuk menghindari aparat namun tidak tertutup kemungkinan dilakukan pada siang hari dilokasi-lokasi yang sulit dijangkau oleh aparat penertiban.
Tahun 2003 sampai 2006 dimulai pola-pola kemitraan antara perusahaan pemegang KP resmi dengan para penambang lokal dengan tujuan merangkul para penambang tanpa ijin agar bisa bekerjasama dengan pemegang KP resmi sehingga dapat diarahkan untuk menambang sesuai kaidah-kaidah yang benar menurut pertambangan. Namun demikian aparat penegak hukum masih terus melakukan razia-razia di daerah-daerah potensial terjadi PETI sampai saat ini, sehingga aktifitas PETI mulai menurun semenjak operasi Illegal Mining dilancarkan dalam dua tahun terakhir.
Maraknya PETI di Kalimantan Selatan disebabkan oleh beberapa hal, yaitu (1) masyarakat menganggap bahwa kepemilikan lahan berarti juga kepemilikan atas bahan tambang yang ada didalamnya dan (2) adanya agen pendukung, seperti aparat desa, aparat keamanan, pemilik modal, penyewa alat berat dan kemudahan fasilitas pemasaran dan fasilitas pelabuhan. Maraknya PETI seringkali dinilai merupakan salah satu bentuk dari ketidakmampuan pemerintah, khususnya pemerintah kabupaten atau kota, dalam mengelola sumberdaya mineral secara berkelanjutan. Menurut Gautama dan Wibowo (2005) ada tiga dampak penting dari PETI, yaitu :
· Terjadi penyiaan potensi sumberdaya mineral karena tidak dieksploitasi mengikuti praktek penambangan yang baik (good mining practices). Tatacara penambangan yang diterapkan justru hanya dapat mengeksploitasi sebagian kecil cadangan dari yang seharusnya bisa ditambang. Hal ini bertentangan dengan kaidah konservasi sumberdaya mineral, yang diartikan upaya untuk mengambil manfaat yang optimal dari sumberdaya mineral yang ada.
· Tidak memberi manfaat yang optimal bagi pemerintah maupun masyarakat, baik dalam bentuk penerimaan langsung dari iuran-iuran (royalty), pajak dan penerimaan-penerimaan lain.
· Kerusakan lingkungan sebagai akibat teknik penambangan yang tidak mengikuti kaidah-kaidah pertambangan yang baik, terutama dalam bentuk kerusakan lahan bekas tambang dan pencemaran, yang selanjutnya menjadi beban bagi pemerintah daerah untuk memperbaikinya.

2.2 Maraknya aktifitas PETI dan Keterlibatan Aparat Pemerintahan
Dalam lima tahun terakhir akibat terbukanya pasar batubara yang lebih luas baik pasar domestik maupun pasar luar negeri, aktifitas ekploitasi batubara di Kalimantan Selatan semakin terus meningkat. Bukan saja ekploitasi yang dilakukan oleh para penambang resmi yang memiliki izin PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) maupun izin KP (Kuasa Pertambangan) tetapi juga banyak dilakukan oleh para penambang tidak resmi alias penambang liar atau yang biasa disebut sebagai PETI batubara. Lebih parahnya lagi pertambangan illegal (Peti) di Kalimantan Selatan ditangani berdasarkan “kepentingan aparat” dan bahkan cenderung dilegalkan seperti kasus tambang illegal di Tanah Bumbu yang dilegalkan melalui berbagai yayasan dan koperasinya institusi TNI-POLRI. Munculnya Peti Batubara juga tidak terlepas dari warisan kebijakan pertambangan dari jaman orde baru dimana konsesi-konsesi pertambangan di hampir seluruh wilayah Indonesia telah dikantongi ijinnya oleh corporate-corporate besar (multinasional corporasi) yang mempunyai ijin langsung dengan Pemerintah Pusat dengan konsesi lahan yang sangat luas. Di lain pihak, adanya perpindahan kebijakan dari pusat ke daerah yang diemplementasikan melalui UU Otonomi Daerah telah memberikan akses kepada pengusaha-pengusaha lokal untuk ikut berperan dalam pemanfaatan sumber daya alam Batubara ini. Akan tetapi pemberian konsesi kepada pengusaha lokal ini tentunya tidaklah mudah, selain aturan mainnya yang belum jelas, areal yang mempunyai potensi tambang itu sendiri hampir semuanya telah dikuasai oleh perusahaan besar melalui mekanisme pusat. Kondisi inilah yang salah satu menjadi faktor pendorong timbulnya penambangan-penambangan liar. Mengutip pemberitaan pada Harian Banjarmasin Post, pada tahun 2004 produksi batubara yang dihasilkan dari penambangan liar di Kalimantan Selatan mencapai 10 juta metrik ton pertahunnya. Produksi dari penambangan resmi dalam sehari hanya 9000 metrik ton, sementara batubara yang dihasilkan dari Peti per harinya mencapai 40.000 ton. Dengan jumlah produksi tambang sebesar itu, kegiatan Peti di Kalimantan Selatan mampu memenuhi kebutuhan pasar di Asia Pasifik sebesar 25 %, yang mengakibatkan kerugian sangat besar bagi negara.
Gambar 2. Ilustrasi kegiatan Penambangan Tanpa Izin (PETI)

Akan tetapi melihat kondisi saat ini, muncul pertanyaan mengapa eksistensi penambangan liar ini begitu besar. Dibandingkan dengan perusahaan tambang besar, kehadiran Peti telah memberikan keuntungan tersendiri bagi pemerintah lokal setempat dan masyarakat disekitar lokasi penambangan liar. Selain kontribusi para pengusaha Peti ini langsung masuk ke kas Pemda setempat melalui dana-dana kompensasi, pihak masyarakat setempat juga menarik fee terhadap pengusaha Peti yang masuk dan melewati wilayah mereka. Diluar biaya ilegal lainnya, ada tiga macam kontribusi pengusaha Peti yang langsung masuk ke Pemda setempat agar mereka bisa mendapatkan SKAB (Surat Keterangan Asal Barang). Para pengusaha lokal tersebut mesti mengeluarkan pembayaran iuran produksi, dana reklamasi, dan sumbangan pihak ketiga. Hal ini berbeda dengan para penambang pemegang PKP2B yang membayarkan royaltinya kepada Pemerintah Pusat dan baru kemudian dibagikan kepada pemerintah daerah.

2.3. Jaringan Komunikasi Pelaku PETI

Muncul dan maraknya aktifitas PETI ditinjau dari teori komunikasi, berhubungan erat dengan adanya jaringan komunikasi diantara para pelaku PETI. Sesuai dengan pendapat Rogers (1983) jaringan komunikasi merupakan suatu jaringan yang terdiri atas individu-individu yang saling berhubungan, yang dilambangkan oleh arus komunikasi yang terpola. Pada aktifitas PETI ini jaringan ini ditandai dengan lancarnya arus informasi dalam penyampaian pesan antara satu dengan lainnya.
Maraknya aktifitas PETI di Kalimantan Selatan pada tahun 1989 dan semakin meningkat pada tahun 1997 (awal krisis moneter terjadi), tidak lepas dari terjadinya arus pertukaran informasi antara pelaku PETI dalam suatu kelompok. Mereka umumnya mempunyai ikatan kekerabatan (keluarga) atau teman dekat, sehingga tidak mengherankan jika aktifitas penambangan liar tersebut semakin tahun semakin meningkat karena lancarnya proses komunikasi diantara mereka. Demikian juga pada kondisi 2 tahun terakhir ini dimana terjadi penurunan aktifitas PETI di Kalimantan Selatan, tidak menutup kemungkinan di dalam jaringan komunikasi pelaku PETI tersebut juga terlibat aparat penegak hukum dan aparat pemerintahan. Dugaan ini didasarkan pada lolosnya mereka dari jerat hukuman pemberantasan PETI dan aktifitas PETI yang semakin meningkat, karena tidak cukupnya bukti yang didapat oleh Tim Pemberantasan PETI padahal pada praktek sehari-harinya jelas ada kegiatan PETI tersebut. Disinilah fungsi komunikasi terlihat jelas efeknya dan menandakan adanya jaringan komunikasi yang terbentuk oleh satu komunitas dengan keperluan yang sama.
Dengan kondisi seperti itu, besar kemungkinan model jaringan komunikasi yang terjadi pada pelaku aktifitas PETI berdasarkan 5 (lima) model struktur jaringan komunikasi De Vito ( 1997 ) adalah struktur lingkaran. Dimana struktur lingkaran merupakan struktur jaringan komunikasi yang tidak memiliki pemimpin. Semua anggota posisinya sama. Mereka memiliki wewenang atau kekuatan yang sama untuk mempengaruhi kelompok. Setiap anggota bisa berkomunikasi dengan dua anggota lain di sisinya. Hal ini sesuai dengan kondisi para pelaku PETI yang tidak memiliki organisasi formal karena kegiatan yang mereka lakukan merupakan kegiatan ilegal, Akan tetapi arus pertukaran informasi yang berjalan lancar diantara mereka sehingga memunculkan suatu jaringan komunikasi membuat usaha illegal mereka tersebut berjalan dengan lancar dengan kurun waktu yang cukup lama. Diantara mereka tidak terdapat seorang pemimpin seperti halnya organisasi formal yang proses pertukaran pesannya dikendalikan oleh pemimpin, masing-masing anggota dalam jaringan tersebut berhak memberikan informasi dan mempengaruhi anggota lain. Biasanya hal ini terkait dengan informasi akan adanya penertiban, jalur lain yang dipakai untuk distribusi batubara tersebut, aparat yang bisa membantu mereka dan lain sebagainya. Hingga saat ini belum ada penelitian lebih dalam tentang jaringan komunikasi dalam kelompok pelaku PETI tersebut, sehingga penulisan makalah ini hanya bersifat tinjauan secara teoritis.

3. Dampak Aktifitas Penambangan Batubara di Kalimantan Selatan

Kegiatan eksploitasi besar-besaran yang dilakukan dalam kegiatan pertambangan batubara di Kalimantan Selatan baik dilakukan oleh pemilik ijin resmi maupun Peti menimbulkan berbagai dampak negatif baik terhadap lingkungan hidup, kehidupan sosial, ekonomi, budaya masyarakat adat maupun budaya masyarakat lokal.
Penggunaan beberapa ruas jalan umum untuk angkutan batubara yang berlangsung hingga saat ini telah banyak mengganggu kepentingan masyarakat banyak. Selain mengganggu pengguna jalan, juga mengakibatkan meningkatnya angka kecelakaan lalu lintas, kerusakan jalan dan jembatan serta pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh debu dari proses pengangkutan tersebut. Kondisi ini diperparah lagi dengan ancaman bahaya kesehatan bagi masyarakat, hal ini dibuktikan dengan meningkatnya penderita penyakit Insfeksi Saluran Pernapasan (ISPA) pada masyarakat yang tempat tinggalnya berada di area jalan proses pengangkutan tersebut dilakukan.
Kebijakan yang memperbolehkan angkutan batubara ini melewati jalan umum ini juga telah melanggar ketentuan perundangan Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang mewajibkan perusahaan tambang memiliki sarana dan prasarana sendiri termasuk jalan. Dan menurut hasil penelitian Walhi Kalimantan Selatan, hampir dapat dipastikan sebagian besar batubara yang diangkut lewat jalan umum adalah hasil dari penambangan batubara yang tidak menggunakan standar pengelolaan lingkungan yang baik dan kebanyakan ilegal.
Seperti halnya aktifitas pertambangan lainnya di Indonesia, pertambangan batubara di Kalimantan Selatan juga telah menimbulkan dampak kerusakan lingkungan hidup yang cukup parah. Akan tetapi patut disesalkan, pemerintah dan perusahaan tambang tidak cukup serius untuk melakukan upaya-upaya penanggulangannya. Kondisi ini juga diperparah dengan tidak adanya ketegasan dari penegakan hukum bahkan cenderung kebanyakan kasus sengaja ditutup-tutupi.
Gambar 3. Salah satu dampak kerusakan diareal tambang batubara

Lubang-lubang besar yang tidak mungkin ditutup kembali apalagi dilakukan reklamasi telah mengakibatkan terjadinya kubangan air dengan kandungan asam yang sangat tinggi. Kondisi ini mengakibatkan kesuburan tanah diarea sekitar pertambangan menjadi tercemar dan akhirnya tanaman tidak dapat berkembang dengan baik bahkan berbagai jenis tumbuhan sudah banyak yang mati, bahkan unsur kimia yang terdapat dalam bekas galian tersebut menimbulkan penyakit kulit pada masyarakat. Pencemaran air sungai dan rusaknya sumber-sumber mata air yang banyak dikonsumsi warga sekitar untuk memenuhi kebutuhan hidup juga merupakan salah satu akibat dari aktifitas penambangan ini.
Kegiatan eksploitasi besar-besaran dalam pertambangan batubara juga mengakibatkan terjadinya pergeseran sosial dan budaya masyarakat. Dulunya mereka berprofesi sebagai petani atau nelayan, sekarang menjadi buruh perusahaan akibat adanya perluasan tambang dengan pembukaan areal hutan, lahan dan kebun masyarakat sehingga mempersempit lahan usaha masyarakat. Pergeseran pola hidup yang lebih konsumtif, penggunaan narkoba dan minuman keras oleh para remaja serta adanya praktek prostitusi menjadi pemandangan yang sering dijumpai sebagai akibat adanya perusahaan pertambangan batubara yang telah mengabaikan hak, nilai-nilai dan budaya masyarakat lokal. Selain itu,juga menimbulkan banyak konflik dalam kehidupan masyarakat bahkan memicu terjadinya pelanggaran HAM akibat tingkah aparat keamanan dan militer yang seringkali menjadi pendukung pengamanan operasi pertambangan.
Terjadinya bencana banjir di Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Banjar yang mengakibatkan banyaknya korban yang meninggal dunia serta rusaknya lahan pertanian merupakan salah satu bukti dampak negatif akibat aktifitas pertambangan batubara yang tidak memenuhi kaedah lingkungan. Menurut data dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapeldada) Kalimantan Selatan (2006) bencana Banjir saat ini merupakan bencana alam yang hampir tiap tahun terjadi di Kalimantan Selatan. Pada tahun 2005, wilayah Kalimantan Selatan mengalami banjir cukup parah, meliputi 7 Kabupaten dan Kota, mencakup puluhan Kecamatan dan Desa, memakan korban jiwa serta kerugian mencapai milyaran rupiah. Banjir yang terjadi disebabkan curah hujan yang tinggi dengan intensitas dan waktu yang lama. Hal ini diperparah dengan berkurangnya daya dukung hutan sebagai daerah tangkapan air yang terbesar. Berkurangnya luasan dan kualitas hutan yang dapat menyerap air curah hujan yang besar, mengakibatkan tingginya debet air sehingga menyebabkan meluapnya air sungai yang berakibat banjir. Sumber Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan (2004) mencatat luas lahan kritis di Kalimantan Selatan mencapai 3.147.518,40 Ha, yaitu sekitar 12,5% dari luas wilayah Kalimantan Selatan. Lahan kritis tersebar di seluruh Kabupaten dan Kota. Dari gambaran tersebut terlihat jelas bahwa kegiatan penambangan batubara ini telah merusakan hutan di wilayah hulu yang mestinya berfungsi sebagai kawasan penyangga dan resapan air. Diperparah lagi dengan buruknya tata drainase dan rusaknya kawasan hilir seperti hutan rawa yang mestinya dapat berfungsi sebagai tandon air yang dapat menyerap air di musim hujan dan mengeluarkannya secara perlahan di musim kemarau.
Berdasarkan hasil evaluasi dampak besar dan penting yang telah dilakukan pada sejumlah kasus kegiatan pertambangan batubara terdapat beberapa faktor lingkungan yang signifikan dikategorikan wajib dikelola dan dipantau, yaitu : kualitas udara, fisiografi dan tanah, hidrologi dan kualitas air, tata ruang dan tata guna lahan, flora dan fauna serta habitat dan ekosistemnya dan kondisi sosial masyarakat.

a. Kualitas Udara
Kegiatan pertambangan batubara yang menjadi sumber dampak penting terhadap pencemaran udara (dalam hal ini kadar debu dan kebisingan) adalah kegiatan operasi penambangan dan pengangkutan batubara. Tabel 1 memperlihatkan dampak negatif kegiatan pertambangan terhadap kualitas udara. Nilai ambang batas kadar debu maksimum adalah 230,0 µg/m3 dan kebisingan 55 dbA untuk permukiman.
Tabel 1. Kadar debu dan kebisingan di daerah pertambangan batubara
No.
Lokasi
Kadar debu
µg/m3
Kebisingan
dbA
Keterangan
1.
2.
3.
4.
Lokasi Tambang, Jorong
Jalan Tambang, Rantau
Jalan Raya Propinsi, Km 94
Desa Hatungun, Rantau
2.083,30
3.229,00
5.890,00
212,4
58,3
46,0
52,9
44,3
Tambang aktif
Dikelola
Tidak dikelola
Tidak dikelola
Sumber : Laboratorium PPLH Unlam (2005)
b. Fisiografi dan Tanah
Perubahan kondisi fisiografi terjadi sebagai akibat aktifitas penggalian, pengupasan, penumpukan, pengolahan dan pengangkutan serta tekanan fisik dari aktifitas alat berat yang digunakan dalam kegiatan pertambangan, termasuk juga perubahan tata letak dan stratifikasi batuan, tanah dan mineral lainnya. Lahan yang semula berupa kawasan hutan atau kebun atau tertutup jenis vegetasi lainnya menjadi terbuka dan berubah fungsi ekologisnya.
Kondisi yang terjadi pada pertambangan batubara yang tidak dilakukan dengan benar akan dijumpai fenomena lubang tambang yang ditinggalkan dan dibiarkan masih terbuka. Selain itu, metoda penambangan stripmine dalam kegiatan tambang batubara yang biasanya diiringi dengan penerapan metoda backfilling (dimana kemajuan tambang ke arah depan selalu diimbangi dengan penimbunan lubang bekas tambang di bagian belakang atau yang disebut penimbunan in pit dump) juga tidak tampak. Kondisi di lapangan sering memperlihatkan lemahnya komitmen pelaku tambang untuk melaksanakan kaidah tambang secara baik dan benar.
Tanah-tanah di daerah pertambangan di Kalimantan Selatan umumnya adalah Ultisols dan Oxisols, yaitu tanah-tanah dengan perkembangan yang lanjut. Tanah-tanah ini dalam kondisi hutan relatif masih subur, karena sistem perharaannya tertutup, bahan organik yang jatuh di lantai hutan terdekomposisi memperkaya hara tanah. Kegiatan penambangan batubara akan mengupas tanah, maka perubahan besar di dalam sistem tanah akan terjadi. Secara fisika, struktur tanah rusak dan perlu waktu lama untuk membentuk struktur tanah kembali. Tanah tanpa struktur menyebabkan tanah sangat peka terhadap erosi, apalagi erosivitas hujan di Kalimantan Selatan tergolong tinggi karena curah hujan tinggi (curah hujan tahunan > 2000 mm). Tanpa pengelolaan lingkungan yang baik, erosi tanah akan melebihi batas erosi diperbolehkan. Dampak turunan dari erosi tanah adalah penurunan kualitas air. Secara kimia, terjadi penurunan kesuburan tanah, pembukaan lahan menyebabkan pencucian hara dan basa-basa meninggalkan oksida-oksida besi, aluminimum dan mangan di permukaan tanah. Tabel 2 memperlihatkan dampak penambangan batubara terhadap erosi tanah.
Tabel 2. Erosi Tanah Sebelum dan Sesudah Penambangan

No

Lokasi
Erosi (Ton/Ha/Tahun)
Rona Awal
Penambangan
1.
2.
3.
4.
Jorong
Sungai Pinang
Satui
Asam-Asam
4 - 17
3 – 4
0,2 – 48
15 - 25
45 – 60
170 – 200
50 – 130
90 – 150
Sumber : Laboratorium PPLH Unlam (2005)

c. Hidrologi dan Kualitas Air
Perubahan kondisi hidrologis dan kualitas air di daerah pertambangan batubara terutama terjadi akibat aktifitas penggalian dan dumping. Biasanya parameter pH, Fe, Mn melebihi ambang batas mutu air limbah. Dalam teknik pertambangan, drainase tambang merupakan prasarana penunjang kegiatan tambang berupa paritan yang dibuat dan diperlukan untuk pengaliran air di wilayah tambang agar pit tambang tidak dipenuhi air, jalan tambang tidak becek dan cepat rusak.
Keberadaan drainase dan settling pond (kolam pengendap lumpur) di lokasi tambang seringkali tidak dibuat secara permanen sehingga mengakibatkan pencemaran lingkungan yang sangat serius.

d. Tata Ruang dan Tata Guna Lahan
Perkembangan pertambangan batubara selama beberapa tahun terakhir di Kalimantan Selatan menyebabkan perubahan atas rencana tata ruang dan rencana pemanfaatan lahan. Dampak dari kegiatan penambangan batubara terhadap tata ruang dan tata guna lahan adalah perubahan tata ruang dan munculnya potensi konflik penggunaan lahan. Di Kabupaten Kotabaru berdasarkan data Juni 2005 memperlihatkan bahwa terdapat kegiatan pertambangan oleh 76 perusahaan dan 13 koperasi yang melakukan penambangan di kawasan hutan dan terdapat 17 perusahaan termasuk koperasi yang melakukan kegiatan penambangan di kawasan Hutan Suaka Alam dengan luas areal yang digunakan 21.863,81 Ha. Akibatnya kawasan hutan yang agak kritis seluas 71.415,00 Ha dan yang kritis (gundul) seluas 143.868 Ha (Muhjad, 2006).

e. Flora, Fauna dan Ekosistemnya
Pembangunan sarana dan prasarana, pengupasan tanah pucuk dan operasi penambangan pada kegiatan pertambangan batubara menyebabkan hilangnya vegetasi dan habitat fauna dan perubahan besar terhadap ekosistem. Revegetasi setelah penambangan cenderung bersifat homogen.


4. Kegagalan Pembangunan dan Kredibilitas Pemerintah (Perspektif Komunikasi Pembangunan)


Nasution (1996) menyatakan bahwa Komunikasi Pembangunan diartikan sebagai suatu komitmen untuk meliput secara sistematik, problematika yang dihadapi dalam pembangunan suatu bangsa. Kegiatan itu kemudian diperluas mencakup segala komunikasi yang diterapkan untuk pentransformasian secara cepat suatu negara dari kemiskinan ke suatu dinamika pertumbuhan ekonomi yang memungkinkan lebih besarnya keadilan sosial dan pemenuhan potensial manusiawi.
Dari pernyataan tersebut, dikaitkan dengan kasus yang telah diuraikan diatas dari kegiatan Pertambangan Batubara terlihat bahwa ada kelemahan pemerintah dalam mengkomunikasikan program pembangunannya sehingga menimbulkan permasalahan yang kompleks bagi masyarakat.
Maraknya aktifitas illegal mining saat ini tidak lepas dari ketidakmampuan pemerintah dan aparat keamanan dalam melakukan penertiban dan menata persoalan pertambangan di sektor ini. Tim penertiban yang beberapa kali dibentuk juga belum mampu menyelesaikan persoalan dan bahkan menimbulkan berbagai persoalan baru dengan adanya isu KKN di tubuh tim. Ketidakmampuan dalam menangani persoalan illegal mining ini menunjukkan lemahnya kredibilitas penegakan hukum dan komitmen pemerintah dalam melakukan pemberantasan illegal mining di Kalimantan Selatan. Faktor lainnya yang menimbulkan maraknya illegal mining saat ini adalah : masih tersedianya bahan baku yang mudah diakses; tersedianya pasar; terbukanya jalur perdagangan; tersedianya teknologi; dan birokrasi perizinan; serta adanya keterlibatan aparat pemerintah dan penegak hukum.
Paradigma pertumbuhan ekonomi yang dianut oleh pemerintah Indonesia memandang segala kekayaan alam yang terkandung di bumi Indonesia sebagai modal untuk menambah pendapatan negara. Tetapi program pembangunan ini tidak diikuti dengan upaya-upaya lainnya seperti pengawasan ketat terhadap usaha pertambangan agar stabilitas lingkungan tetap terjaga, sehingga menimbulkan permasalahan yang kompleks dikehidupan masyarakat. Disinilah terjadi kegagalan komunikasi dalam pembangunan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku usaha, aparat keamanan dan masyarakat.
Seandainya pemerintah dapat bertindak tegas terhadap pelaku pertambangan liar atau kepada pengusaha yang melanggar aturan main dalam usaha pertambangan sesuai dengan hukum yang berlaku melalui hubungan komunikasi yang baik, maka dampak-dampak negatif yang telah dibahas sebelumnya setidaknya dapat diminimalisir. Sehingga tujuan awal pembangunan dari sektor pertambangan dapat berindikasi positif bagi kehidupan masyarakat.
Kondisi memprihatinkan bagi lingkungan dan masyarakat akibat ketidakberhasilan pemerintah dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang melimpah untuk pembangunan dengan mengeksploitasi besar-besaran pertambangan batubara ini juga dapat dikatakan bukti dari kegagalan pembangunan di Indonesia. Sumberdaya alam sebagai kekayaan suatu negara dapat dijadikan modal pembangunan tetapi pada kenyataannya eksploitasi sumberdaya alam tersebut tidak memberikan manfaat berarti. Pendapatan besar yang diperoleh negara dari eksploitasi sumberdaya mineral tidak seimbang dengan kerusakan yang didapat dari kegiatan tersebut. Hal ini diperkuat dengan teori pembangunan yang dijabarkan oleh Dissayanake (1981) yaitu pembangunan merupakan proses sosial yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup dari seluruh atau mayoritas masyarakat, tanpa merusak lingkungan alam dan kultural tempat mereka berada dan berusaha, melibatkan sebanyak mungkin anggota masyarakat dalam usaha ini, dan menjadikan mereka penentu dari tujuan mereka sendiri.

5. Solusi

Permasalahan pengelolaan sumber daya alam tambang batubara di Kalimantan Selatan dinilai sudah sangat kompleks dan terlihat sulit diperbaiki. Untuk itu upaya utama mengatasi permasalahan tersebut adalah diperlukannya political will pemerintah untuk melakukan tindakan yang tegas dan berani dengan melakukan moratorium atau penghentian sementara (penertiban dan tata ulang) aktifitas pertambangan, bukan saja batubara tetapi sumber daya tambang lainnya. Dengan melakukan moratorium seluruh aktifitas pertambangan batubara di Kalimantan Selatan, pemerintah daerah setempat dapat menata kembali pijakan dasar kebijakan dan orientasi pertambangan batubara ke depan yang berpihak pada kepentingan lingkungan hidup, penduduk lokal, bangsa dan kepentingan generasi yang akan datang.
Tentunya untuk mempercepat terjadinya proses tersebut, diperlukan upaya-upaya dan penerapan konsep komunikasi pembangunan sehingga tercipta kesamaan tujuan pembangunan dan menciptakan partisipasi serta dukungan dari seluruh warga masyarakat.









DAFTAR PUSTAKA


Berlo.D.K, 1960, The Process of Comunication, New York, Chicago.

DeVito, Joseph. 1997. Komunikasi Antar Manusia, Kuliah Dasar. Jakarta: Professional Books

Depari E & Collinm.A, 1978, Peranan Komunikasi Massa Dalam Pembangunan,Gajah Mada University press.

Effendy Onong U, 1981, Dimensi dimensi Komunikasi, Alumni Bandung

…………………., 1979, Komunikasi dan Modernisasi, Alumni Bandung

Furqon, Berry. 2006. Potrek Buruk Pengelolaan Tambang Batubara Di Kalimantan Selatan. Walhi KalSel.

Hanafi Abdullah, 1984, Memahami Komunikasi Antar Manusia, Usaha nasional
Surabaya

Lion Berger, Herbert F, Paul H. gwin, 1982, Comunication Strategis : A Guide For Agriculture Change Agent, Lionis: the Interstate.

Muhjad, H. 2006. Naskah Akademik RTRWK. Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat.

Mulyana, Dedi. 2001. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosda Karya

Nasution Z,2001, Komunikasi Pembangunan, pengenalan teori dan Penerapannya, PT. .Raja Grafinedo utama Jakarta.

PPLH Unlam, 2006. Studi Penilaian Kondisi Lingkungan Tambang Batubara di Kabupaten Kotabaru.

Priatmadi, Bambang J. 2006. Pengaruh Industri Batubara Terhadap Lingkungan Hidup Di Kalimantan Selatan : Perspektif Lembaga Penelitian. Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat.